DPR: Desa Siluman adalah Pengkhianatan
JAKARTA -- Desa fiktif alias desa siluman menjadi pembicaraan hangat menyusul pernyataan yang disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Desa siluman' tersebut adalah desa yang tidak berpenghuni tetapi mendapatkan kucuran dana desa yang tidak sedikit dari pemerintah. Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Didi Irawadi Syamsuddin menyebut, 'desa siluman' adalah bentuk pengkhianatan. Bahkan selain keterlaluan juga dianggap sebagai tindakan konyol. "Ini sungguh pengkhianatan yang konyol dan keterlaluan terhadap hak rakyat yang harusnya disalurkan lewat dana desa tersebut," kecam politikus Partai Demokrat, seperti dikutip Republika.co.id, Kamis (7/11). Oleh karena itu, Didi sebagai anggota Komisi XI DPR RI mendukung sepenuhnya untuk dilakukan investigasi secepatnya oleh Menkeu Sri Mulyani. Ia menganggap pembuat 'desa siluman' sangat tidak bertanggungjawab. Padahal program dana desa tujuannya untuk membangun dan menyejahterahkan desa. "Justru masuk ke kantong-kantong pribadi yang tidak bertanggung jawab. Langkah selanjutnya utamanya langkah hukum oleh KPK adalah harga mati. Sanksi-sanksi lain melalui Kemendagri, Menteri Desa Tertinggal harus segera dilakukan," tegas Didi. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan akan mengejar siapapun pelaku atau oknum hingga tertangkap terkait dugaan adanya desa fiktif yang dibentuk untuk memperoleh kucuran dana desa. Ia mengaku memang tidak mudah mengelola begitu banyak desa di Indonesia. “Tapi tetap kita kejar agar yang namanya desa-desa tadi yang diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep,” tegas Jokowi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri setidaknya menemukan empat potensi masalah terkait dana desa menyusul kajian yang telah dilakukan pada 2015. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kajian itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas pencegahan KPK dan hasilnya ditemukan sejumlah potensi masalah. Pertama, terkait masalah regulasi. Dia mengatakan masalah muncul karena belum lengkapnya regulasi dan petunjuk pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa. Selain itu, masalah regulasi itu lantaran potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri. "Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih," kata dia, Rabu (6/11) malam. Dia mengatakan masalah itu karena formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 dinilai tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Kemudian, pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan. Kedua, potensi masalah dalam tata laksana yaitu, kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa; satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia; dan APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa. Selanjutnya, transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah dan laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Ketiga, kajian itu juga menemukan potensi masalah dalam hal pengawasan. Ditemukan bahwa efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakuka pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah. Tak hanya itu, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas. Terakhir, adanya potensi masalah sumber daya manusia (SDM). Hal itu antara lain tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. "Dari temuan tersebut, KPK merekomendasikan kepada badan atau kementerian terkait untuk merevisi dan atau membuat regulasi baru," ujarnya. Revisi itu antara lain adalah dengan merevisi Permendagri No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. "[Rekomendasinya] dengan memasukkan aspek pengawasan partisipatif oleh masyarakat, audit sosial, mekanisme pengaduan dan peran inspektorat daerah," ujarnya. (bis/rep)
Sumber: