Harga Cabai Belum Bisa Diredam

Harga Cabai Belum Bisa Diredam

JAKARTA - Menyikapi tingginya harga cabai di pasaran, Kementerian Perdagangan mengaku belum bisa melakukan operasi pasar sebagai solusinya. Sebab, Kemendag perlu berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Pertanian terkait ketersediaan pasokan. Operasi pasar hanya dapat dilakukan apabila pasokan mencukupi. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Tjahya Widayanti mengatakan pihaknya tengah menanti data dari Kementerian Pertanian untuk merancang solusi. "Saya masih berupaya bagaimana caranya. Kalau pasokan ada, tentu saja kami akan perintahkan kepada pedagang cabai untuk menurunkan harga serta operasi pasar," ujar Tjahya, di Jakarta, kemarin (17/7). Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional sampai kemarin, rata-rata harga cabai merah keriting mencapai Rp 60.650 per kilogram. Padahal, harga cabai merah keriting pada Juni sebesar Rp 49.550 per kg. Kemudian harga cabai rawit hijau Rp 57.100 per kg, cabai merah besar Rp 58.250 per kg, dan cabai rawit merah Rp 63.050 per kg. Menurut Tjahya, dari laporan yang diterima Kemendag sejumlah pasar tradisional di Jakarta mengalami penurunan stok. Misalnya saja di pasar induk Kramat Jati yang biasa menerima pasokan 100 ton cabai per hari, turun menjadi 90 ton cabai per hari. Kondisi tersebut diprediksi Tjahya akan bisa stabil kembali saat musim panen. ”Kemungkinan harga cabai mulai stabil pada Agustus atau September nanti karena mulai panen kembali," bebernya. Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan bahwa minimnya kapasitas cold storage membuat stabilitas harga cabai di tingkat petani dan konsumen sukar dikendalikan. Di saat produksi melimpah, harga cabai petani anjlok dan di kala produksi minim seperti sekarang, harga yang terus merangkak naik di pasar. “Kalau cold storage ada, harga aman-aman saja. Kalau lagi panen, harga di petani aman karena akan ditampung di cold storage. Sedangkan kalau produksi minim, konsumen aman, karena stoknya disimpan dengan baik,” ujar Henry. Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Insitut Pertanian Bogor Dwi Andreas menyebutkan bahwa musim kemarau tahun ini dapat dibilang lebih ekstrim dibandingkan dengan tahun lalu. Beberapa komoditas tanam yang cukup terdampak dan terasa langsung di suplai produksinya adalah beras dan cabai. Dwi menjelaskan musim kemarau meyebabkan sektor pertanian mengalami pergeseran musim tanam. Panen awal tahun yang seharusnya terjadi pada Februari sampai Maret, tahun ini bergeser menjadi Maret hingga April. Menurut Dwi, hal tersebut membuat musim tanam kedua harus mundur di bulan Mei. ”Puncak panen kedua berada di Agustus, bisa dibayangkan kondisi panen di bulan depan dengan cuaca seperti ini. Panen ketika puncaknya musim kemarau, lahan yang tidak teririgasi secara teknis berpotensi mengalami penurunan panen,” ujar Dwi. Menurut Dwi, lahan pertanian di Indonesia yang teririgasi secara teknis hanya sekitar 45 persen. Sebanyak 55 persen sisanya masih beresiko gagal panen saat cuaca ekstrim menyerang. Menghadapi hal ini, Dwi menyebut bahwa pemerintah perlu untuk cermat mendata stok komoditas pertanian nasional. Selanjutnya adalah mengkaji potensi kenaikan harga. Kementerian dalam hal ini disebut Dwi bisa bekerja sama dengan berbagai institusi yang dapat mengawasi kenaikan harga seperti Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia. ”Pemantauan harga harus lebih ketat,” pungkasnya. (agf)

Sumber: