Debat Cawapres, Tak Ada Kejutan
JAKARTA-Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) antara Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno kurang greget. Secara keseluruhan tidak terlihat dentuman yang mengejutkan pada pemaparan yang berlangsung di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta kemarin (17/3) malam. Nyaris tidak ada hal yang baru, bahkan keduanya terkesan teoritis baik di sektor pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial dan budaya. Pada sektor kesehatan misalnya, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengatakan masih banyak permasalahan kesehatan di Indonesia yang belum disentuh oleh kedua kandidat dalam debat putaran ketiga. "Banyak sekali ya. Banyak yang belum tersentuh," ujar Daeng tadi malam (17/3). Adapun masalah yang belum tersentuh antara lain tingginya angka kesakitan baik penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, kanker dan penyakit menular seperti tuberculosis yang menempati posisi tertinggi ke-2 di dunia, HIV AIDS yang menempati posisi tertinggi ke-3 di dunia. Kemudian, masalah penyakit gangguan mental seperti stres, narkoba, kecanduan pornografi. Selanjutnya, masalah distribusi pelayanan kesehatan dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata sehingga akses ke pelayanan kesehatan tidak merata. Selain itu, dia mengatakan para cawapres juga belum menyentuh secara komprehensif terkait penanganan masalah mahalnya harga obat dan alat kesehatan. Pelayanan kesehatan dalam negeri harus semakin ditingkatkan, salah satunya dengan mendorong agar harga obat dan kesehatan tidak terlalu mahal untuk dapat dinikmati masyarakat luas. "Devisa melayang karena biaya untuk berobat ke luar negeri bisa mencapai Rp100 triliun per tahun," tuturnya. Terpisah, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan kedua cawapres belum menyampaikan terobosan kebijakan yang substansial dan signifikan terkait pengembangan riset, teknologi dan inovasi dalam negeri. "Kedua cawapres masih bicara pada tataran normatif, belum terlihat terobosan kebijakan yang substansial dan signifikan," katanya di Jakarta, Minggu malam. Menurutnya, idealnya cawapres menyampaikan kebijakan untuk empat hal, yakni pertama, membentuk komisi pendanaan riset yang independen sehingga penggunaan dana riset akan lebih baik dan efektif. Kedua, mendorong pertumbuhan industri nasional bernilai tambah tinggi sehingga kegiatan penelitian dan pengembangan industri akan tumbuh pesat karena di negara maju kegiatan penelitian dan pengembangan 80 persen oleh sektor swasta. Ketiga, kebijakan pemberian insentif untuk industri nasional melakukan penelitian dan pengembangan secara intensif sehingga akan menaikkan anggaran riset. Keempat, pemerintah fokus kepada riset dasar. Satryo mengatakan riset dasar sangat penting dan harus didanai oleh negara, karena riset untuk industri hanya bisa berkembang jika riset dasarnya kuat, sementara riset untuk industri seyogyanya didanai sektor swasta. Senada disampaikan pengamat dari lembaga kajian Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Ahmad Heri Firdaus. Ia menilai kedua cawapres belum menyentuh titik krusial masalah pengembangan riset di Indonesia, yakni sangat minimnya anggaran, dan juga payahnya koordinasi antara lembaga riset yang sudah ada. "Lembaga yang mewadahi riset sudah ada di Indonesia, ada LIPI, Kementerian Ristekdikti, BPPT. Yang diperlukan adalah koordinasi agar lebih sinergis," tegas Heri. Ia memandang lebih baik meningkatkan koordinasi antara lembaga riset yang sudah tersedia agar hasil riset bisa berguna bagi pengembangan kegiatan ekonomi dan sosial, ketimbang membuat lembaga baru yang mensentralisasi atau memusatkan kegiatan riset. Selain itu, kata Heri, dalam debat putaran ketiga malam kemarin, kedua cawapres juga belum melontarkan gagasan spesifik untuk peningkatan anggaran riset. Menurut data Bank Dunia di akhir 2017, dana riset Indonesia hanya sebesar 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah anggaran riset itu tertinggal jauh dari Thailand yang sebesar 0,6 persen PDB, Malaysia 1,1 persen PDB, China dua persen PDB ataupun Singapura yang sebesar 2,6 persen PDB. "Anggaran riset kita masih sangat kecil. Untuk meningkatkan anggaran riset, perlu kerja sama dengan dunia usaha atau investor, tapi pemerintah harus bikin regulasi yang nyaman agar dunia usaha atau investor mau berperan lebih banyak dalam meningkatkan anggaran riset," katanya. Heri menekankan pemerintah tidak akan mungkin hanya mengandalkan instrumen fiskal APBN untuk mendanai kebutuhan riset. "Beri investor kepastian dalam jangka waktu tertentu, baik kepastian dari sisi fiskal maupun nonfiskal. Insenstif fiskal yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan investor selama masih bisa diakomodasi," ujar dia. Dalam debat putaran ketiga, calon Wakil Presiden 01 Maaruf Amin melontarkan gagasan agar berbagai lembaga-lembaga dan instansi negara di bidang riset disentralisasikan dalam Badan Riset Nasional. Cawapres 02 Sandiaga Uno menanggapi rencana Ma-ruf Amin dengan mengatakan, pembentukkan Badan Riset Nasional hanya malah menambah jumlah lembaga yang menangani bidang riset dan justeru menambahkan panjang birokrasi. "Bagi Prabowo-Sandi kuncinya di kolaborasi, kami pastikan dunia usaha dapat insentif dana bidang fiskal dan non fiskal," kata Sandiaga. (fin)
Sumber: