RUU PKS Bukan Pro-Zina

RUU PKS Bukan Pro-Zina

Jakarta-- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai persepsi, bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pro-perilaku seks bebas keliru. Ini karena tujuan RUU tersebut adalah memberikan akses keadilan bagi para korban kekerasan seksual. "Kalau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dianggap pro zina, pro LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), saya kira ada bacaan yang belum tuntas terhadap keseluruhan semangat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan," ujar Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei saat menghadiri dialog 'Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual' di Jakarta, kemarin. Dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan juga tidak pernah membidik wilayah perilaku seks bebas. "Kami beberapa kali bertemu dengan Konferensi Ulama Perempuan Indonesia, Muhammadiyah, NU, dan berbagai tokoh-tokoh agama untuk memastikan agar jangan sampai ada pasal-pasal yang secara terang benderang atau secara isyarat menghalalkan yang diharamkan oleh agama secara pasti," ujarnya. Meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak memuat delik yang memidanakan zina yang dilakukan suka sama suka, sanksi perilaku seks bebas telah diatur dalam undang-undang pidana. "Ketika kita tidak mengatur, seakan-akan melegalkan. Itu salah logika," ujarnya. Imam mengungkapkan, selain memberikan akses keadilan terhadap para korban, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mengawal korban hingga ke tahap pemulihan. Selama ini, lanjut Imam, acara pidana kasus kekerasan seksual seringkali mengorbankan kembali para korban yang mayoritas adalah perempuan. Untuk itu, Imam berharap RUU ini segera disahkan menjadi Undang-undang. Pakar Hukum Jay Tambunan menilai draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memang masih perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan tafsir ganda yang bisa dimanfaatkan untuk menjatuhkan harkat dan martabat orang lain. "Jangan sampai nanti ada motivasi dari orang-orang tertentu menggunakan, kalau RUU ini dijadikan Undang-undang, mendeskreditkan laki-laki," ujarnya. Jay menilai definisi kekerasan seksual dalam draf masih terlalu luas. Dalam dokumen draf RUU PKS yang diunduh dari situs resmi DPR, pasal 1 mendefisinisikan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraaan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. "Sebagai laki-laki normal, mungkin, ketika berhadapan dengan lawan jenis yang menarik apalagi mungkin dirinya digoda, siapa yang menjamin dia tidak tergoda? Setelah tergoda, terjalin hubungan mereka, sampai ke hubungan (biologis) seperti itu dibuat dokumentasi sedemikian rupa contoh ke hotel, di rumah, lalu dia (laki-laki) diperas. Ketika tidak bisa (diperas), dikatakan melakukan tindakan kekerasan seksual karena waktu melakukan hubungan seksual tidak sebagaimana yang disadari karena melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan lainnya," ujarnya. Kemudian, istri juga bisa menuding suami melakukan kekerasan seksual padahal pada saat berhubungan intim tidak ada paksaan. menaggapi pro kontra RUU PKS, mendapat tanggapan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Reni Marlinawati. Menurutnya, hingga saat ini, RUU PKS masih dalam tataran diskursus yang belum memunculkan sikap dari masing-masing fraksi di DPR RI. Anggota Fraksi PPP DPR itu mengatakan, pihaknya menyambut positif masukan, tanggapan dan komentar dari berbagai pihak atas substansi RUU PKS ini. Komisi X DPR RI mengundang pihak-pihak yang peduli atas RUU PKS ini untuk berdiskusi atas substansi materi RUU PKS. Mengenai sikap PPP, kata Reni, prinsipnya dalam membuat norma dalam UU selalu mendasari pada landasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Menurut dia, keberadaan RUU PKS merupakan respons atas praktik kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Ia memastikan, PPP akan mengawal RUU PKS ini sesuai dengan landasan filosfois dalam pembentukan aturan ini. Reni menilai anggapan dan pandangan para peneken petisi daring tersebut sebagai bagian dari pengayaan dalam pembahasan RUU PKS di DPR. Dia meyakini pihak-pihak yang menolak keberadaan RUU PKS ini memiliki pandangan yang sama terhadap praktik kekerasan seksual kepada perempuan.(cnn/Ant)

Sumber: