Jangan Beri Ruang Eks Koruptor

Jangan Beri Ruang Eks Koruptor

JAKARTA - Pasca diumumkannya 49 nama caleg mantan koruptor, sejumlah pengamat angkat bicara. Mereka menilai, tidak sepatutnya orang yang telah membuat kesalahan menyelewengkan uang negara bisa terpilih lagi dan memberi ruang. Pengamat Politik, Ray Rangkuti mengatakan, ada beberapa alasan nama caleg tersebut kembali dijagokan oleh partai. Mulai dari berjasa kepada partai, memiliki elektabilitas yang cukup tinggi, dan bisa mambiayai diri sendiri untuk maju dalam kontestasi lima tahunan tersebut. Rangkuti meyakini, pasca diumumkannya nama-nama tersebut, tidak akan berpengaruh banyak kepada tingkat elektabilitas. Alasannya, para kandidat wakil rakyat tersebut sudah lebih dahulu bekampanye. Mereka sudah memiliki jaringan sendiri, jumlah pendukung yang bisa dikatakan pasti, dan terakhir adalah kepercayaan masyarakat yang sudah mereka ambil. "Efeknya pasti ada, tetapi tidak akan drastis mempengaruhi elektabilitas. Mereka sudah terlebih dahulu melakukan kerja-kerja politik," katanya seperti dilansir Fajar Indonesia Network di Jakarta, Kamis (31/1). Ia juga menyayangkan, jika nantinya nama-nama yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada yang lolos menjadi wakil rakyat. "Seharusnya masyarakat tidak memberi ruang bagi mereka. Karena sudah jelas, ada yang lebih baik," tambahnya. Terpisah, Pengamat Politik Emrus Sihombing mengatakan, jika majunya calon legislatif yang pernah tersandung kasus korupsi adalah politik yang salah kaprah. Menurut Emrus, majunya calon legislatif seharusnya berdasarkan politik kepercayaan. Calon yang diusung harus mempu meyakinkan partai ataupun publik. Salah satunya adalah bersih dari kasus hukum. Majunya para caleg tersebut dinilai Emrus, menabrak moral politik. Pendidikan politik yang ditanamkan kepada masyarakat adalah politik kejujuran. Jika mereka saja pernah tersandung kasus korupsi, berarti sudah jauh dari azas kejujuran dalam berpolitik. "Masih banyak anggota atau kader partai yang baik dan bisa dicalonkan untuk maju menjadi wakil rakyat. Tetapi jika pimpinan sudah memberi instruksi, maka mereka juga yang akhirnya maju," terangnya. Emrus menuturkan, ada variable lain yang membuat para caleg eks koruptor tersebut maju. Salah satunya dari partai politik itu sendiri. Para caleg juga dinilai mempunyai kekuatan lebih di dalam partai, jika dibandingkan dengan kader lainnya. "Seharusnya dibutuhkan keberanian dalam partai untuk memutuskan. Jika ada kader yang sudah terjerat kasus korupsi mereka masuk gudang saja. Berpolitik di balik layar. Jangan malah dicalonkan untuk maju," tegasnya, Sementara itu, Akademisi Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Suryani mengatakan, fenomena caleg koruptor itu aneh. Menurut saya itu salah satu indikator dari gagalnya regenerasi atau kaderisasi dalam parpol. Hal tersebut berakar dari pola oligarki partai yang makin menguat dalam parpol hingga sistem organisasi tidak bisa lagi bekerja dengan baik, paparnya. Lebih lanjut Suryani menegaskan, selain masalah gagalnya kaderisasi, fenomena ini adalah kelemahan yang mencolok dari sistem pemilu. Seharusnya ada keterkaitan yang komprehensif antara etika politik, pendidikan politik bagi masyarakat dan sistem pemilu itu sendiri. Masalah hak politik untuk dipilih harus diatur sedetil mungkin jangan sampai meninggalkan dan mengabaikan moralitas dan etika politik. "Bicara elektabilitas pada kondisi politik sekarang ini menjadi sulit. Pada karakter pemilih, bersifat psikologis dan sosiologis. Ditambah minimnya pendidikan politik bagi masyarakat. Maraknya money politic memberi peluang bagi para caleg koruptor untuk terpilih lagi. Walau pada level dengan karakter pemilih yang lebih rasional, pencalonan mereka memiliki peluang kegagalan yang tinggi," tandasnya. (khf/fin)

Sumber: