Aktivitas Ba’asyir Tetap di Monitor
JAKARTA - Pascabebas Polri tidak perlu melakukan pengamanan khusus terhadap sosok Abu Bakar Ba'asyir. Kendati demikian, Polri tetap akan melakukan monitoring yang akan dilakukan oleh Satwal dan Satgas Anti teror dan radikalisme Polda Jateng. Sementara itu, pembebasan sosok terpidana kasus terorisme ini mendapatkan kritik tajam dari media terkemuka di Australia. Dan pemerintah Australia juga pernah menolak rencana pembebasan Ba'asyir pada awal 2018 lalu. Selain itu, membuat kecewa para korban bom bali. Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morison telah menelepon pemerintah RI dan menyatakan keberatannya. Mengahapi kritikan media Australia itu, Polri menyikapinya dengan santai. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan, kritikan yang dilontarkan media Autralias itu sebagai sesuai yang biasa. "Soal kritik ya biasa. Langkah kita monitoring saja. Pengawasan bisa dilakukan jajaran Polresta Surakarta. Tidak perlu ada kekhawatiran. Tidak pula melakukan pengamanan khusus terhadap yang bersangkutan (Abu Bakar Ba'asyir, red)," tegas Dedi Prasetyo, Minggu (20/1). Ditambahkan Dedi, prosedur pembebasan Ustaz Abu Bakar Ba'asyirberada di wewenang Ditjen Pemasyarakatan (PAS) Kemenkumham. "Beliau (Abu Bakar Ba'asyir, red) di Solo, kegiatan-kegiatan beliau, kan termonitoring juga. Dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ya sebatas koordinasi," imbuhnya. Terpidana kasus terorisme Ustad Abu Bakar Ba'asyir diberikan bebas tanpa bersyarat dari Presiden Joko Widodo. Jokowi mengutus Yusril Ihza Mahendra untuk membebaskan Abi Bakar Ba'asyir. Ba'asyir sudah menjalani 2/3 masa tahanan dari putusan 15 tahun penjara pada 2011. Baasyir dipenjara karena terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh, pada 2010. Joko Widodo mengatakan, bahwa keputusan ini sepenuhnya atas dasar kemanusiaan. Ini mengingat usia Abu Bakar Baasyir telah menginjak 80 tahun. Pro dan kontra pun terjadi atas pembebasan tokoh ini dari LP Gunung Sindur, Bogor, Jawa barat lantaran, dilakukan ditengah pertarungan Pemilu 2019 sehingga, dinilai kental dan sangat kuat muatan politiknya. Pengamat Terorisme Ali Chaida mengatakan, pemberian grasi ini dinilai tidak tepat karena ditengah moment Pilpres 2019 mestinya, dilakukan setelah pesta demokrasi ini selesai sehingga, tidak ada anggapan bermuatan politik. "Dan saya sendiri menduga bahwa ustad Abu Bakar Ba'asyir pasti akan menolak juga kalau dikaitkan dengan Pilpres 2019, dan dia pun akan memilih bebas pasca Pilpres berakhir. Tapi karena memang tidak ada syarat apapun akhirnya, dia terima," ujar Ali, Minggu (20/1). Pada bagian lain, memang ada hal-hal yang ini bertolak belakang dari tekad negara ini soal urusan dalam memberantas terorisme, dan memastikan Pancasila dan UUD45 sebagai harga mati. "Tawaran, dengan menandatangani setia terhadap NKRI kan ditolak," timpalnya. Dikhawatirkan, kondisi ini menjadi masalah dikemudian hari. "Ini menunjukkan daya tawar untuk pembebasan Abu Bakar Ba'asyir lebih besar. Tapi secara pribadi, saya setuju dengan grasi ini. Apalagi Presiden lebih menitikberatkan pada sisi kemanusiaan dan kesehatannya," ucapnya. Lebih jauh, diakui Ali, dirinya sendiri menilai pembebasan Pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini, dari sisi keamanan tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena, soal potensi bahaya terhadap ketokohannya pandang sudah nyaris tidak ada, atau sangat kecil sekali. "Dia memang tokoh dan pemimpin karismatik terakhir terorisme di Indonesia, tapi saat ini beliau sudah tidak lagi berafiliasi kepada ISIS. Jadi, saya rasa tidak perlu ada yang terlalu dikhawatirkan," jelas Ali. (mhf/fin/ful)
Sumber: