Indonesia Tidak Alami Deindustrialisasi
JAKARTA -- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara memastikan Indonesia tidak sedang mengalami deindustrialisasi. Sebab, perkembangan industri dan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) masih besar. Ngakan menjelaskan, setiap tahun, pertumbuhan industri sekitar 4,8 persen yang membuktikan tidak terjadi deindustrialisasi. Kalau deindustrialisasi pun seharusnya terjadi lay off atau tenaga kerja berkurang kemudian banyak industri yang tutup. "Tapi, pada kenyataannya, tidak," ujarnya, ketika ditemui di Gedung Kemenperin, Jakarta, Kamis (16/1). Menurut data Ngakan, sepanjang 2015 sampai 2018, penyerapan tenaga kerja 15 sampai 17 juta per tahun. Artinya, penyerapan tenaga kerja di sektor industri sudah hampir 14 persen dari seluruh angkatan kerja yang jumlahnya mencapai 133 juta orang. Ngakan menjelaskan, Indonesia masih berpeluang besar memacu daya saing sektor industri di tengah ketidakpastian kondisi global. Potensi ini seiring adanya peningkatan investasi dan produktivitas manufaktur sehingga dapat mendongkrak nilai tambah bahan baku dalam negeri hingga menggenjot ekspor. Kondisi sektor industri yang baik juga terlihat melalui data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) pada 2018. Dilihat dari sisi manufacturing value added, industri pengolahan Indonesia mengalami tren yang terus membaik. Merujuk data UNIDO tersebut, nilai tambah industri nasional meningkat hingga 34 miliar dolar AS, dari tahun 2014 yang mencapai 202,82 miliar dolar AS menjadi 236,69 miliar dolar AS di tahun 2018. "Saat ini, Indonesia masuk 10 besar dunia sebagai negara industri yang bernilai tambah tinggi," ujar Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar dalam rilis yang diterima Republika.co.id. Kontribusi industri terhadap perekonomian Indonesia mencapai 20,5 persen. Angka ini membuat Indonesia berada di peringkat kelima dunia, berdasarkan data World Bank tahun 2017. Indonesia berada di bawah Cina (28,8 persen), Korea Selatan (27 persen), Jepang (21 persen) dan Jerman (20,6 persen). Kemenperin mencatat, pada tahun 2015, sektor industri pengolahan nonmigas menyumbang sebesar Rp 2.098,1 triliun terhadap PDB nasional, meningkat 21,8 persen menjadi Rp 2.555,8 triliun di tahun 2018. "Artinya, produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asean," ucap Haris. Data lain memperlihatkan, industri manufaktur di Indonesia masih menunjukkan hasrat untuk terus meningkatkan produktivitas dan perluasan usaha guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Ini tercermin dari laporan Nikkei, di mana indeks manajer pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia sepanjang tahun 2018 rata-rata berada pada level di atas 50 atau menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif. Selain itu, Haris menambahkan, industri manufaktur konsisten memberikan kontribusi terbesar terhadap nilai ekspor nasional hingga 73 persen. Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas diproyeksi menembus 130,74 miliar dolar AS pada tahun 2018. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 125,10 miliar dolar AS. Untuk mengembangkan industri nasional agar lebih berdaya saing global di era digital, pemerintah sudah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Aspirasi besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk jajaran negara 10 besar dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030. Haris menjelaskan, apabila melihat indeks daya saing global, kondisi Indonesia sudah membaik. Hal ini terlihat melalui metode baru dengan indikator penerapan revolusi industri 4.0. "Peringkat Indonesia naik dari posisi ke-47 pada tahun 2017 menjadi level ke-45 di 2018," katanya.(rep)
Sumber: