Komnas HAM ‘Gugat’ Tragedi 98
JAKARTA - Kerusuhan Mei yang terjadi pada 20 tahun silam masih menyisakan luka mendalam bagi korban dan keluarganya. Hari-hari itu, rasanya sulit dijelaskan. Bagaimana keberingasan sekelompok orang yang melakukan rudapaksa, hingga aksi penculikan mahasiswa dan aktivis. Insiden penghilangan dan penculikan paksa tersebut, terjadi pada masa pemilihan presiden Republik Indonesia periode 1998-2003. Peristiwa itu pun kini kembali diungkit oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Amiruddin mengatakan, selain tragedi Mei 1998, ada delapan kasus lain yang terkatung-katung. Padahal, kasus tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) empat tahun lalu. "Sederet kasus ini hanya mondar-mandir. Dari Komnas HAM diserahkan ke Kejagung. Dari kejagung dikembalikan lagi ke Komnas HAM. Terakhir, sembilan berkas tersebut diserahkan dari Kejagung ke Komnas HAM pada Desember 2018. Tanpa ada perubahan yang substansial," paparnya, kemarin (10/1). Pada posisi ini, lanjut dia, Komnas HAM telah bertemu dengan presiden untuk menyampaikan kondisi yang terjadi. "Presiden hanya menyampaikan akan memerintahkan ke Kejagung untuk menuntut tuntas. Tetapi hingga saat ini masih mandek," terangnya. "Komnas HAM menilai, sembilan berkas kasus tersebut sudah memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan. Tetapi berkas tersebut dikembalikan oleh Kejagung. Tanpa ada keterangan ataupun penambahan substansi," imbuhnya. Amir juga mempertanyakan kinerja Kejagung yang tidakmau memutuskan kasus tersebut. Jika dirasa tidak cukup bukti, harusnya di P-19 kan. Atau jika cukup bukti bisa di P-21. "Yang bikin kami kaget, berkas tersebut mengendap di Kejagung empat tahun. Tapi dikembalikan ke kami tanpa ada substansi yang berarti," ulasnya Amir di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat. Amir menambahkan, presiden harusnya, meminta dengan tegas ke Kejagung. Jika presiden memang serius untuk menuntaskan kasus tersebut, paling tidak ada satu atau dua kasus yang dilanjutkan ke tahap penyidikan. Di Tempat sama, Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menambahkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat harus diletakkan sebagai kepentingan bangsa. Bukan Cuma keadilan untuk korban. Tetapi memastikan jika kejadian serupa tidak akan terulang kembali. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, apa yang disampaikan ke publik tidak ada kaitannya dengan debat pilpres mendatang. Menjawab keterangan Komnas HAM, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Dr Mukri menegaskan, Kejagung sangat konsisten untuk menyelesaikan perakara dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun tergantung pada hasil penyelidikan di Komnas HAM. Berdasarkan berkas perkara yang masuk ke kejaksaan dari tim penyelidik Komnas Ham terdapat 10 perkara dugaan pelanggaran berat. Dua perkara pelanggaran Ham setelah adanya Undang-Undang 26 tahun 2000 dan delapan perkara terjadi sebelum adanya Undang-Undang tersebut. "Penanganan kasus HAM berat ada 10, 8 HAM berat masa lalu, 2 kasus setelah ada UU 26 tahun 2000," jelasnya. Namun, lanjut Mukri, dalam perjalannnya berkas perkara yang dikirimkan tim penyelidik Komnas HAm ke Kejaksaan belum memenuhi unsur formil dan materil untuk ditingkatkan ke penyidikan oleh tim jaksa peneliti. Ia menilai tim penyelidik Komnas HAM tidak pernah memenuhi petunjuk yang diberikan tim jaksa peneliti agar berkas perkara dapat memnuhinunsur formil dan materil. Kejagung telah melakukan pembedahan satu demi satu kasus, dengan mengajak Komnas HAM duduk bersama untuk meneliti berkas satu persatu. "Selama tujuh hari di Bogor Jawa Barat pada 2017 silam. Hasilnya sudah disepakati berkas perkara masih terdapat kekurangan, terangnya. Wakil Kajati Jogjakarta itu menambahkan berkas perkara dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu saat ini tengah dilakukan penelitian oleh kejaksaan. Jaksa Agung HM Prasetyo, lanjut Mukri, telah mengusulkan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu diselesaikan dengan cara non yudisial. Pasalnya sejak 2007 penyelidikan yang dilakukan hingga saat ini juga tidak dapat menunjukan bukti yang dijadikan dasar untuk ditingkatkan ketahap penyidikan. Kendala lain, ketua maupun anggota Komnas HAM selalu ganti. Kondisi ini yang menyulitkan dalam berkoordinasi.(khf-lan/fin/ful)
Sumber: