RS Bisa Layani Pasien BPJS Lagi
JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkas) telah mengeluarkan surat HK.03.01/MENKES/18/2019 mengenai perpanjangan kerjasama rumah sakit (RS) dengan BPJS Kesehatan. Rumah sakit yang belum memiliki sertifikat akreditasi diberi waktu enam bulan untuk memastikan dapat sertifikat tersebut. Sambil berproses mendapatkan sertifikat, RS yang sempat diputus kerjasamanya oleh BPJS Kesehatan, bisa kembali melayani pasien BPJS Kesehatan. Keputusan ini, setelah Jumat sore (4/1) Kemenkes menyurati direksi BPJS Kesehatan. Kemenkes menegaskan bahwa sertifikat akreditasi bisa diganti dengan rekomendasi BPJS Kesehatan. Aturan adanya akreditasi sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 99 tahun 2015. Dalam aturan tersebut memang dijelaskan bahwa syarat akreditasi akan berlaku di tahun ini. Aturan ini tidak hanya untuk mitra BPJS Kesehatan yang baru, namun juga RS maupun klinik yang sudah lama menjadi mitra. Pada 1 hingga 4 Januari lalu, BPJS Kesehatan sudah memberlakukan syarat tersebut. ”Surat 4 Januari 2019 ini menegaskan bahwa yang belum ada sertifikat akreditasi bisa diganti dengan rekomendasi Kemenkes,” ucap Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf. Iqbal menegaskan bahwa surat diterima sore. Sehingga sebelum itu, BPJS Kesehatan telah memutus kontrak beberapa rumah sakit dan klinik. Sehingga RS maupun klinik tidak bisa melayani pasien. ”Betul pada kondisi sebelum 4 Januari (ada RS yang tidak bisa melayani pasien BPJS Kesehatan, Red),” ujarnya. Namun mulai kemarin RS maupun klinik bisa melayani pasien lagi. Menurut data yang dimiliki Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), ada 1.969 rumah sakit yang memiliki akreditasi. Sedangkan untuk RS yang belum terakreditasi jumlahnya mencapai 856. Sementara 64 rumah sakit sudah habis masa berlaku akreditasinya. Akreditasi dari KARS memang harus diperpanjang pertiga tahun sekali. Humas Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto menjelaskan bahwa tanggungjawab RS untuk akreditasi tidak hanya dibebankan kepada rumah sakit atau PERSI saja. Namun dukungan dari seluruh sektor, dibutuhkan. Dia mencontohkan RS tipe D yang karap mengalami kendala untuk akreditasi. ”Bagi RS yang kelas D yang terbatas sumber daya (financial, Red) bisa disubsisdi. Kalau RSUD disubsidi pemerintah, sedangkan RS swasta tidak ada yang bantu,” tuturnya kemarin (6/1) saat dihubungi Jawa Pos. Tantangan lainnya menurut Anjari, rumah sakit harus memenuhi syarat dan standar sebelum melakukan akreditasi. Setiap rumah sakit yang beroprasi setidaknya harus melengkapi syarat perijinan analisis dampak lingkungan, sumber daya manusia, kelengkapan dokumen tanah dan bangunan syarat lain. Sedangkan standar yang harus dimiliki rumah sakit antara lain pelayanan gawat darurat hingga jenasah. ”Akreditasi menilai itu semua. Kalau dari awal sudah memenuhi itu, sebenarnya lebih ringan,” ungkapnya. Yang menghambat lainnya mengenai antrean. Di Indonesia sendiri ada 2700-an rumah sakit. Setiap tiga tahun, mereka memperbarui akreditasi. ”Tenaga akreditasi tidak banyak,” ujarnya. Sehingga ada rumah sakit yang sudah terakreditasi tapi belum menerima sertifikat atau sedang disurvei. Padahal per 31 Desember lalu, syarat bermitra dengan BPJS Kesehatan adalah adanya sertifikat itu. Akibatnya RS yang tidak bisa menunjukkan sertifikat akreditasinya tidak bisa melayani pasien jaminan kesehatan nasional (JKN). Meski demikian menurutnya PERSI mendorong agar setiap rumah sakit untuk melakukan akreditasi. ”Akreditasi ini sebenarnya kebutuhan karena untuk melindungi pasien, tenaga medis, maupun rumah sakit sendiri,” tutur Anjari. Sementara itu Ketua Eksekutif KARS dr Sutoto menuturkan bahwa penilaian akreditasi hingga penerimaan sertifikat bisa cepat. Syaratnya RS harus siap. ”Misalnya RS tidak punya pengolah limbah (IPAL ). Padahal dalam akreditasi RS harus punya punya IPAL,” ungkapnya. Dia menjelaskan menurut UU lingkungan hidup, membuang bahan beracun dan berbahaya kalau tidak sesuai aturan bisa dituntut pidana 1 hingga 3 tahun dan denda Rp 1 hingga 3 miliar. ”Pemilik RS menganggap IPAL terlalu mahal dan tak perlu,” imbuhnya. Lalu berapa lama proses akreditasi jika seluruh persyaratan lengkap? Sutoto menegaskan proses tersebut sebenarnya tidak lama. Hanya seminggu saja. Hanya pada Desember lalu, pengajuan akreditasi membludak. Sehingga waktu yang dibutuhkan lama. ”Tak kurang dari 200 RS selama sebulan,” ungkapnya. Salah satu rumah sakit yang mendapatkan rekomendasi dari Kemenkes adalah RS Husada Utama di Surabaya. Menurut Direktur RSHU Prof dr R Hariadi SpOG (K), akreditasi rumah sakitnya telah habis pada 26 Oktober 2018. Pihaknya telah meminta perpanjangan akreditasi dari 11 Oktober. Melihat kesiapan perpanjangan akreditasi RSHU, Hariadi optimis akan lolos akreditasi. ”Karena memang tidak ada banyak perubahan. Semua rekomendasi dari KARS sudah kami lakukan semua,” katanya.(ika/lyn)
Sumber: