Pembahasan ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur Sidoarjo berakhir antiklimaks. Setelah sempat mengkaji opsi dana talangan, pemerintah akhirnya menyerahkan sepenuhnya proses ganti rugi kepada PT Minarak Lapindo Jaya.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden Rabu (26/4). Itu adalah ratas pertama setelah peran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) digantikan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Selain Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, hadir Gubernur Jatim Soekarwo dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
Menurut Basuki, dalam ratas yang berlangsung tidak lebih dari setengah jam itu, pemerintah memutuskan tidak akan menalangi Lapindo dalam pembayaran kewajibannya kepada 30 perusahaan yang terdampak lumpur. ”Jadi, nanti diselesaikan business-to-business antara Lapindo dan pengusaha,” ujarnya.
Basuki menyebutkan, sempat ada usul agar pemerintah ikut menalangi penyelesaian ganti rugi kepada pengusaha seperti yang dilakukan untuk masyarakat. Alasannya, pengusaha juga bagian dari masyarakat. Namun, ada pertimbangan lain yang menyebutkan bahwa pelaku usaha juga memiliki kontrak dengan perusahaan asuransi. ”Nanti kita ikut ribet dengan asuransi (kalau menalangi, Red),” tuturnya.
Karena itu, lanjut Basuki, Lapindo dipersilakan menyelesaikan sendiri urusan ganti rugi kepada para pengusaha yang terdampak semburan lumpur. Pemerintah tidak akan ikut campur. ”Kami hanya sebatas mendorong agar (pembayaran, Red) ganti rugi segera dilaksanakan,” terangnya.
Saat ini terdapat 30 lokasi usaha dari berbagai sektor di lima desa yang terdampak semburan lumpur. Lima desa itu adalah Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo, dan Ketapang. Total nilai ganti rugi untuk pelaku usaha tersebut mencapai Rp 701,68 miliar.
Sementara itu, untuk ganti rugi kepada masyarakat, pemerintah sudah menalangi Rp 781 miliar. Saat ini masih ada 244 berkas yang belum diselesaikan pembayaran ganti ruginya dengan nilai Rp 54,33 miliar. Lalu, ada 19 berkas susulan milik warga yang diusulkan. Nilainya Rp 9,8 miliar dan belum bisa dibayar.
Dengan demikian, pemerintah masih harus mengeluarkan dana talangan Rp 64,13 miliar. Itu belum termasuk kebutuhan untuk fasilitas umum dan sosial, juga ganti rugi untuk tanah dan bangunan wakaf. Nilainya mencapai Rp 552,91 miliar dan terdiri atas 329 berkas.
Kepala PPLS Dwi Sugiyanto mengakui, ada beberapa hal yang menjadi hambatan utama penyelesaian ganti rugi. Dia menyebutkan, untuk ganti rugi di peta area terdampak (PAT), ketersediaan dana jadi isu utama. ”Yang di luar PAT, tanah dan bangunan wakaf, fasum, dan fasos masih belum selaras dengan regulasinya,” ucap dia.
Gubernur Soekarwo menambahkan, kendala di lapangan adalah verifikasi. ”Lahannya kan sudah tertimbun lumpur,” ujarnya. Bukti-bukti pendukung yang tidak lengkap juga acap kali menjadi kendala di lapangan. Alhasil, hingga saat ini sejumlah ganti rugi belum juga bisa diselesaikan.
Keputusan ratas kabinet kemarin yang menyerahkan sepenuhnya ganti rugi membuat pengusaha korban lumpur Lapindo kecewa berat. Sebab, awalnya mereka mendapatkan angin segar ketika tugas BPLS digantikan PPLS yang langsung di bawah Kementerian PUPR.
Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) Ritonga menyatakan sangat kecewa atas sikap pemerintah itu. Dengan pengembalian kewenangan pembayaran ke Lapindo, masa depan pembayaran ganti rugi kembali tidak pasti. ”Atas nama pengusaha korban Lapindo saya kecewa berat,” cetusnya saat dihubungi kemarin.
Sebenarnya, jelas Ritonga, minggu lalu dirinya bersama rekan sesama pengusaha korban lumpur sempat bertemu dengan ketua PPLS di Surabaya. Rapat tersebut membahas ganti rugi pengusaha lumpur yang sepuluh tahun belum terbayar. Pertemuan itu menghasilkan sejumlah keputusan.
Pertama, PPLS tidak mengakui lagi konsep ganti rugi business-to-business yang dilakukan Lapindo kepada pengusaha. Pasalnya, pembayaran ganti rugi yang dijanjikan rampung 2008 sampai saat ini belum juga rampung.
Kedua, GPKLL bakal berkirim surat ke Kementerian PUPR dan ditembuskan ke Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Isinya, meminta pemerintah segera mengambil alih pembayaran ganti rugi untuk pengusaha.(byu/and/aph/c9/owi)