JAKARTA – Kewaspadaan harus benar-benar ditingkatkan. Aksi kejahatan bermodus skimming rupanya terjadi secara masif di banyak lokasi. Kota besar, kota kecil, ATM di mall, ATM di SPBU, ATM di hotel, bahkan ATM di kantor cabang bank pun ada yang menjadi korban aksi skimming. Ketua Harian Ikatan Auditor Teknologi Indonesia (IATI) Yanto Sugiharto mengatakan, kejahatan skimming kartu ATM sebenarnya merupakan kejahatan perbankan yang lawas. “Ya tahun 1995-an sudah dimulai,” ujarnya kemarin (19/3). Sayangnya, hingga saat ini masih ada banyak bank yang menjadi sasaran pelaku kejahatan skimming. Artinya, upaya untuk mencegah aksi kejahatan itu harus terus ditingkatkan. Dalam aksinya, para pelaku memasang sejumlah perlengkapan di sebuah mesin ATM. Perangkat itu cukup komplek. Bisa berupaya sejenis kamera kecil yang ditempatkan di penutup atau kanopi tombol angka untuk mengetik PIN. Kemudian juga ada alat yang ditancapkan di mulut lubang masuknya kartu ATM. Bahkan ada cara lain yakni dengan memasang perangkat pemancar berbasis sinyal. Dengan banyaknya teknis pemasangan skimming itu, publik wajar bertanya-tanya. Setiap mesin ATM kan sudah dilengkapi dengan CCTV. Tetapi kenapa bank tidak bisa mendeteksi adanya perilaku yang mencurigakan jika benar-benar CCTV itu terhubung ke bank. Dia menjelaskan ada beberapa penyebab kejahatan skimming masih terus terjadi sampai saat ini. Memang benar mesin ATM dilengkapi dengan CCTV. Sehingga bisa memonitor setiap perilaku pelanggan yang masuk. Apakah benar-benar mengambil uang atau malah memasang perangkat skimming. Yanto mengatakan pada praktiknya saat ini tidak semua mesin ATM ada CCTV-nya. Selain itu ada pihak ketiga atau vendor yang berpotensi ikut bermain dalam kejahatan skimming tersebut. Untuk itu dia berharap Permenkominfo 4/2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi (SMPI) bisa segera diterapkan dengan maksimal. Banyaknya aksi kejahatan skimming terungkap dari hasil penyelidikan polisi yang sudah menangkap banyak pelaku. Namun, ada pula dokumen investigasi sebuah bank yang mengungkap banyaknya aksi skimming. Dalam dokumen internal itu, disebutkan adanya banyak titik mesin ATM yang rupanya telah dipasangi skimmer dan tersebar di berbagai kota. Lokasi ATM yang jadi sasaran skimming pun sangat beragam. Selain di mesin ATM, aksi skimming juga ada yang dilakukan pada mesin electronic data capture (EDC). Mesin EDC yang terdampak adalah mesin EDC yang ada di agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Kota-kota tersebut antara lain Malang, Ngawi, Ngawi, Madiun, Solo, Boyolali, Jogjakarta, Karanganyar, Wonogiri, Ungaran dan Demak. Dalam sepekan terakhir, sudah dua bank yang terbukti terkena skimming. Yaitu, BRI dan Bank Mandiri. Namun sampai saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memberikan statement apa pun soal peringatan maupun sanksi yang diberikan kepada dua bank pelat merah tersebut. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Bank Tabungan Negara (BTN) ketika mengalami fraud. Pada Maret 2017 lalu, BTN tersangkut kasus fraud berupa pemberian bilyet deposito fiktif dan merugikan nasabah sebesar Rp 258 miliar. Saat itu, OJK langsung memberi statement kepada media bahwa BTN terkena sanksi berupa larangan membuka rekening simpanan di kantor kasnya di seluruh Indonesia. Hal itu memaksa nasabah baru yang ingin membuka rekening tabungan, giro dan deposito di kantor kas BTN harus dialihkan ke kantor cabang. Hukuman tersebut berjalan selama tiga bulan. Sementara hingga berita ini ditulis OJK belum memberikan keterangan apa pun mengenai sanksi bagi bank yang terkena skimming. Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adinegara mengatakan, semestinya ada ketegasan yang ditunjukkan OJK. “Mungkin komunikasi faktornya, kemudian tidak ada ketegasan. Ini kan bukan hanya kelalaian nasabahnya tapi ada kelalaian dari perbakan, bagaimana bisa mesin ATM ditempelin ini itu, tapi bank-nya tidak tahu bahwa di situ ada alat skimming,” ujarnya kemarin (19/3). Menurut Bhima, OJK harus lebih proaktif dan lebih terbuka dalam bersosialisasi kepada media dengan menunjukkan sanksi yang tegas bagi perbankan yang kedapatan terkena fraud. Hal itu juga lebih dapat memberi kepastian bagi masyarakat agar tidak berpindah bank. Sebab modal utama bank adalah kepercayaan. Fungsi regulator bukan sekadar menerbitkan regulasi, tetapi juga menertibkan hal-hal yang tidak sesuai, dan masyarakat perlu mengetahui sikap OJK tersebut. “Jadi jangan membedakan karena yang satu fraud-nya skala besar, kalau yang ini skalanya receh, skala jutaan, kemudian ada perbedaan perilaku dan tindakan. Kalau kecil-kecil nasabahnya, ya sudah yang penting uangnya diganti, case closed. Tidak cukup sampai di situ,” urai Bhima. (jpg/bha)
Skimming Juga Ada di Dalam Bank
Selasa 20-03-2018,08:21 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :