TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bersama Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Gakkumhut) telah menutup 55 lubang tambang emas ilegal di sekitaran kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Rabu (3/12).
Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Satgas PKH Mayjen TNI Dody Triwinarto, dan diikuti oleh berbagai instansi vertikal seperti kejaksaan, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten.
Menurut, Komandan Satgas PKH Mayjen Dody Triwanto, kegiatan ini merupakan operasi periode ke 3 yang merupakan lanjutan periode 1 dan periode 2 penertiban PETI di TNGHS yakni wilayah Kabupaten Bogor tanggal 28 Oktober - 6 November 2025 dan Kabupaten Sukabumi tanggal 18 - 22 November 2025.
”Sarana PETI di TNGHS yang telah dilakukan penanganan di dua lokasi tersebut yaitu: lubang PETI sebanyak 281 lubang, bangunan pengolahan emas dan tenda 811 unit, Tabung Besi/ Gelundung t 20.000 unit, mesin-mesin 105 unit, dan pemutusan kabel instalasi listrik PLN 44 jaringan,” terang Dody, dalam keterangan persnya, Rabu (3/12).
Mayjen Dody Triwanto mengapresiasi Kementerian Kehutanan atas peran aktif penertiban kawasan hutan, hingga negara berhasil menguasai 3,4 juta Hektar. ”Dalam kerangka opsgab satgas PKH periode 3 ini maka penertiban di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Hutan Produksi Terbatas penyangga seluas 105.072 hektar telah berhasil menghentikan dan menertibkan TNGHS dan penyangganya dan membongkar sarana yang digunakan untuk aktivitas PETI,” kata Mayjen Dody.
Lanjut dia, kegiatan penertiban PETI Kawasan Konservasi TNGHS di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tersebar di 11 Blok. Sasaran Lokasi tersebut yaitu: a. Resor Panggarangan : Blok Cimari, dan Blok Cirotan
b. Resor Cisoka : Blok Cisasak, Blok Gang Panjang, dan Blok Cisoka
c. Resor Cibedug : Blok Cikatumbiri, Blok Ciburuluk, Blok Ciawitali, Blok Cikopo. d. Resor Gunung Bedil : Blok Cikidang.
”Satgas PKH juga melakukan Penertiban Penggunaan Kawasan Konservasi TNGHS untuk bangunan komersial wisata sebanyak 488 unit di Blok Lokapuma, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat,” paparnya.
Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu menjelaskan, berdasarkan hasil operasi ini, perkiraan luas kegiatan ilegal di TNGHS sekitar 493 hektar, terdiri dari kegiatan PETI seluas 346 hektar dan bangunan villa ilegal sekitar 147 hektar.
”Potensi kerugian negara akibat kegiatan ilegal Peti dan bangunan villa di kawasan konservasi TNGHS diperkirakan sekitar Rp304 miliar, hal ini belum termasuk nilai kerugian dari hasil tambang ilegal,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan, penyidik Ditjen Gakkumhut telah melakukan pemenksaan terhadap saksi-saksi dan olah TKP berkaitan dengan peristiwa tersebut. Pemeriksaan tersebut untuk menemukan pelaku aktor - aktor sebagai pemodalnya.
Sesuai arahan menteri kehutanan, Raja Juli Antoni, yang secara tegas menginstruksikan Ditjen Gakkum Kehutanan untuk menertibkan pelanggaran-pelanggaran dalam kawasan hutan maupun hutan lainnya, khususnya TN Gunung Halimun Salak yang merupakan hulu berbagai sungai, salah satunya Sungai Cisadane. Kerusakan kawasan TNGHS akan memberikan dampak ekologis penurunan kualitas air dan bencana hidrologi banjir dan longsor. Upaya penertiban ini sebagai langkah strategis dalam mitigasi bencana yang dapat memberikan dampak kepada masyarakat. Satgas PKH bersama Kemenhut melakukan upaya penyelesaian kegiatan ilegal di TNGHS melalui melalui instrumen penguasaan kembali kawasan konservasi TNGHS beserta HP, HPT dan HL sebagai penyangga seluas 105.072 hektar. Apabila instrumen tersebut belum optimal akan dilakukan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
Skema penegakan hukum pidana kehutanan, para pelaku illegal tersebut diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak katagori VI, diduga melanggar Pasal 89 jo pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor1 8 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan/atau Pasal 33 ayat (2) huruf bjo pasal 40B ayat (1) huruf b UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH&E.
Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menjelaskan PETI di kawasan konservasi TNGHS telah terjadi secara massif dan mengancam terhadap kelestarian kawasan konservasi yang merupakan salah satu hulu Daerah Aliran Sungai di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. TNGHS mempunyai fungsi yang strategis sebagai penyangga kehidupan, pengatur tata air, mencegah banyir dan longsor. Operasi ini juga rangkaian kesiapsiagaan kita menghadapi musim penghujan yang dapat mengakibatkan longsor dan banjir. ”Upaya penyelamatan TNGHS, Kemenhut telah melakukan berbagai upaya dalam perbaikan tata kelola kawasan konservasi dan usaha-usaha perlindungan hutan. Namun upaya tersebut belum optimal maka perlu dilakukan upaya penegakan hukum secara terukur, agar membuat epek jera,” ucapnya.