TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Puluhan pendemo dari mahasiswa dan masyarakat mengepung Pemprov Banten, di depan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi (KP3B) Banten, Curug, Kota Serang, Kamis (9/10). Mereka berasal dari tiga organisasi masyarakat.
Ketiganya ialah organisasi Komunitas Soedirman 30 (KMS30) yang menyeroti terkait kesehatan, Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Provinsi Banten terkait konflik agraria petani, dan Aliansi masyarakat dan Pemuda Cileles Kabupaten Lebak terkait segudang permasalahan di Banten yang belum tuntas.
Koordinator Umum KMS30, Bento mengatakan aksi tersebut digelar sebagai respons terhadap kondisi kritis sistem kesehatan provinsi yang selama bertahun-tahun terjebak dalam persoalan pelayanan lamban, akses terbatas, ketidaktransparanan anggaran, dan dugaan korupsi pada sektor kesehatan.
Dari empat RSU milik Pemprov, ia merinci RSUD Banten punya grade B, dengan kapasitas 500 ranjang, lalu RSUD Malingping dengan grade C berkapasitas kapasitas 105 ranjang.
Selanjutnya RSUD Labuan dengan grade C, berkapasitas 124 ranjang dan RSUD Cilograng dengan grade C, berkapasitas 139 ranjang.
“Padahal idealnya, RSUD provinsi harus mencapai grade B atau A agar mampu memberikan layanan, rujukan dan spesialis. Namun hingga kini, hanya satu RSUD di Banten yang memiliki grade B, dan belum ada yang bergrade A,” katanya.
Lebih lanjut, terkait pelayanan yang lambat dan hak tenaga kesehatan yang terabaikan. Evaluasi kinerja, kata dia, menunjukkan bahwa pelayanan di fasilitas kesehatan Provinsi Banten sering kali tidak responsif terhadap kebutuhan pasien.
"Tenaga kesehatan sering mengalami pelanggaran hak, seperti keterlambatan gaji, fasilitas kerja yang buruk, kurangnya dukungan alat dan obat, hingga beban kerja yang berlebihan," jelasnya.
Ketiga mengenai Puskesmas Pembantu (Pustu) yang belum lengkap dan tak terjangkau. Hingga saat ini, 100% Pustu di Provinsi Banten belum lengkap. Artinya layanan kesehatan belum memiliki tenaga atau fasilitas medis yang memadai. Keempat, mengenai akses yang timpang, birokrasi berbelit, dan kemiskinan yang menjadi hambatan.
Terakhir untuk dugaan korupsi seputar penggunaan anggaran yang mencurigakan di dua RSUD baru, yakni RSUD Labuan dan RSUD Cilograng yang diresmikan dengan biaya ‘opening ceremony’.
"Anggaran peresmian dua rumah sakit umum daerah (RSUD) di Banten Selatan yang menelan biaya hingga Rp1,8 miliar. Lalu BPK) RI mengungkap kejanggalan dalam pengadaan makanan dan minuman (mamin) senilai Rp1,898 miliar," paparnya.
Sementara itu, Pengurus DPW SPI Banten, Darmawan mengataka, berdasarkan data SPI secara nasional hingga 2025, tercatat sebanyak 118.762 kepala keluarga petani masih terlibat dalam berbagai konflik agraria dengan total luasan sekitar 537.062 hektare. Di Banten sendiri, konflik agraria yang dialami 5.120 petani mencapai 10.986 hektare di Kab. Pandeglang, Kab. Lebak, dan Kab. Serang. Angka itu mencerminkan skala persoalan struktural yang belum terselesaikan.
“Konflik agraria tersebut telah berlangsung puluhan tahun tanpa kepastian penyelesaian,” katanya dalam keterangan.
Tak hanya itu, Ombudsman RI Perwakilan Banten mencatat bahwa aduan terbanyak merupakan konflik agraria. Ini menandakan lemahnya mekanisme penyelesaian di tingkat daerah.
Oleh karena itu, DPW SPI Banten menuntut Gubernur Provinsi Banten, DPRD Provinsi Banten, dan Kantor Perwakilan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menyelesaikan sejumlah konflik agraria. Selanjutnya stop segala bentuk pungutan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap petani oleh Perum Perhutani.