JAKARTA—Penegak hukum yang tersandung kasus korupsi potensial mendapatkan perlakuan istimewa. Kemarin (29/3) Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menandatangani nota kesepakatan penindakan korupsi yang dinilai negatif dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya bila menjerat penegak hukum.
Dalam nota kesepakatan penindakan korupsi itu terdapat pasal yang memunculkan pro dan kontra. Yakni, pasal tiga. Dalam pasal tiga pada ayat lima disebutkan, dalam hal salah satu pihak melakukan pemanggilan terhadap personel pihak lainnya, maka pihak yang melakukan pemanggilan tersebut wajib memberitahukan pada pimpinan personel yang dipanggil. Selanjutnya, pada pasal tiga ayat enam, dalam hal salah satu pihak melakukan pemeriksaan terhadap personel pihak lainnya, maka personel tersebut didampingi oleh fungsi hukum atau bantuan advokat para pihak dan pemeriksaan dapat dilakukan di kantor para pihak. Ayat pro kontra lainnya, pada ayat tujuh yang menyebutkan, dalam hal salah satu pihak melakukan tindakan penggeledahan, penyitaan atau memasuki kantor pihak lainnya, maka pihak yang melakukannya memberitahukannya pada pimpinan pihak yang menjadi objek dilakukannya tindakan tersebut, kecuali operasi tangkap tangan (OTT). Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menuturkan, terkait pemberitahuan sebelum melakukan pemeriksaan personel dan penggeledahan tersebut, sebenarnya lebih agar memperlancar komunikasi. Sehingga, tidak terjadi salah pengertian dalam penanganan kasus korupsi tersebut. ”Tekadnya sudah sama untuk memberantas korupsi,” ujarnya. Untuk pendampingan dari kuasa hukum terhadap personel yang diperiksa, Boy menuturkan bahwa sebenarnya sifatnya hanya pendampingan. Pendampingan itu memfasilitasi personel karena ada masalah hukum. ”Karena ada kemungkinan pihak-pihak tertentu yang dimintai keterangan itu tidak begitu paham dengan masalah hukum yang dihadapi,” paparnya. Menurutnya, Polri memiliki advokat internal yang bisa menghadapi gugatan hukum, praperadilan atau pendampingan anggota-anggota yang menghadapi masalah hukum. ”Masyarakat kan juga diberikan pendampingan,” terangnya. Bukankah masyarakat saat menjadi saksi jarang diperbolehkan didampingi kuasa hukum, bila aparat kemudian tersandung masalah hukum dan bisa didampingi, bukankah memunculkan ketidakadilan? Boy menjawab, "Tidaklah. Warga biasa itu juga harus didampingi oleh advokat. Namun, kalau sebagai saksi tidak perlu. Kalau hanya saksi itu kan hukum acaranya mengatur seperti itu. beda kalau tersangka yang harus didampingi penasehat hukum,” jelasnya. Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan bahwa sebenarnya untuk poin memberitahu saat memeriksa dan menggeledah itu cukup wajar. Sebagai salah satu ada kesopanan antar penegak hukum. ”Tidak ada masalah,” jelasnya. Namun, yang kebablasan itu adalah pasal tiga ayat enam yang menyebut pendampingan advokat dan pemeriksaan di kantor sendiri. Dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) disebutkan bahwa pendampingan kuasa hukum itu dilakukan bagi seseorang yang berstatus tersangka. ”Tapi, dalam nota kesepakatan itu tidak menyebutkan dengan jelas status dari penegak hukum yang diperiksa. Apakah hanya saksi atau malah sudah tersangka,” jelas Kuasa Hukum Antasari Azhar tersebut. Dengan begitu ayat enam itu dapat diartikan penegak hukum yang diperiksa karena kasus korupsi dalam status apapun didampingi kuasa hukum. ”Bila seperti itu, maka nota kesepakatan itu justru menabrak KUHAP,” jelasnya. Begitu pula dengan pemeriksaan aparat yang dilakukan di kantornya sendiri. Di manapun, lanjutnya, pemeriksaan terhadap seseorang itu dilakukan di kantor yang memanggilnya. ”Ini juga menabrak KUHAP,” tegasnya. Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menuturkan, dari tiga ayat dalam pasal tiga tersebut dapat dipahami bahwa ketiga lembaga penegak hukum ini seakan-akan mencoba saling melindungi. Namun, justru menabrak azas-azas dan sistem aturan. ”Sekaligus nota kesepakatan ini sangat diskriminatif, memperlakukan aparat istimewa dan rakyat diperlakukan berbeda,” jelasnya. Untuk masalah memberitahu pada pimpinan lembaga terkait personel diperiksa dan penggeledahan, sebenarnya ada kasus yang mirip sekali dengan ayat tersebut. Yakni, dihapusnya ketentuan pemeriksaan pada kepala daerah dan anggota DPR harus dengan izin presiden. ”Mahkamah Konstitusi menghapusnya karena tidak sesuai dengan azas demokrasi,” jelasnya. Namun, ketentuan itu justru dibuat oleh tiga lembaga penegak hukum. Apalagi, salah satunya merupakan KPK, lembaga yang selama ini begitu dipercaya masyarakat. ”Ini sebuah kemunduran untuk KPK,” terangnya. Apalagi, KPK selama ini selalu menerapkan larangan untuk saksi didampingi kuasa hukum. Dia menuturkan, tapi dengan nota kesepakatan ini justru penyidik KPK yang diperiksa bisa didampingi kuasa hukum. ”Ini sangat tidak konsisten dan diskriminatif,” tegasnya. Dia menegaskan, dengan nota kesepakatan ini, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan public terhadap tiga lembaga hukum tersebut. ”Ini ada pendekatan kekuasaan, ingin melanggengkan kekuasaannya. Rakyat diabaikan,” ungkapnya. (jpg)Dinilai Istimewakan Aparat Saat Terjerat Kasus
Kamis 30-03-2017,10:48 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :