Disparitas harga beras hingga sampai ke tangan konsumen menjadi lebih tinggi karena rantai yang begitu panjang. Kasus yang terjadi pada PT Indo Beras Unggul (IBU) menjadi salah satu contoh peliknya distribusi beras. Pakar Teknologi Pangan yang juga alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), Nur Mahmudi Ismail menjelaskan, untuk mengatasi masalah itu kapasitas Bulog harus ditingkatkan. Bulog harus membantu petani di kala petani panen harus dibeli dengan harga standar.
“Jangan ada alasan karena panen dan melimpah maka harga murah. Panen sudah bisa diukur. Jangan sampai saat panen dibeli murah. Bulog dan pemerintah harus hadir saat tanam dan panen,” tegasnya kepada JawaPos.com, Kamis (3/8). Mantan Wali Kota Depok itu juga mendorong agar kapasitas Bulog ditingkatkan sehingga
petani tidak menjual ke tengkulak.
Hapuskan kehadiran tengkulak, kemudian bentuk kemitraan antara Bulog dan petani. “Bantu petani punya penggiilingan, supaya dia punya hasil. Tingkatkan kapasitas Bulog. Semakin dekat dengan petani, agar saat panen tak ada istilah anjlok. Petani punya penggilingan dan pengeringan, agar tak ada kesulitan pas panen atau musim hujan. Hapuskan tengkulak,” ungkap Peneliti Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu.
Nur Mahmudi juga menjelaskan soal perbedaan antara beras medium dan premium. Hal itu dibedakan dari porsi di dalam karung antara beras pecah dan beras utuh. Beras premium misalnya, terdiri dari 98 persen beras utuh dan 2 persen beras patah. “Misalnya beras Rojolele, aslinya pulen. Atau Pandan Wangi memang wangi. Tapi belum tentu
wangi itu premium. Menentukan pemium medium itu dari utuh dan patah. Dalam per satuan ukuran. Yang utuh berapa persen. Namun ada juga yang membeli Rojolele atau Pandan Wangi kok enggak enak, nah itu berarti enggak jujur, penipuan,” jelasnya. (ika/JPC)