Pengangguran Banten Tinggi, Fitron: “Evaluasi Disnakertrans”

Senin 11-11-2019,04:58 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

SERANG-Jumlah pengangguran di Provinsi Banten menduduki peringkat pertama se-Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten merilis, jumlah pengangguran terbuka (tidak punya pekerjaan sama sekali) mencapai, 8,11 persen atau setara 490,8 ribu orang. Penyumbang terbesar pengangguran adalah lulusan menengah atas. SMA 31,73 persen dan SMK 23,51 persen. Menururt Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi Banten Fitron Nur Ikhsan kebijakan padat modal yang dilakukan oleh Pemprov Banten yang menjadi penyebabnya. Kebijakan pembangunan padat modal saat ini berpotensi menyulitkan pemerintah untuk menekan angka pengangguran di Banten. Ia menegaskan, sejak awal sudah mengingatkan Pemprov Banten untuk tidak terlalu membuka kran terlalu besar untuk program padat modal. “Pembangunan padat modal konsekuensinya angka pengangguran pasti sulit di tekan secara maksimal. Karena tidak bisa menyerap tenaga kerja secara keseluruhan. Hanya lulusan tertentu saja,” paparnya. Bahkan, kata Fitron kebijakan-kebijakan lain, tidak mendukung pembukaan lapangan kerja, terutama bagi lulusan SMA dan SMK. Salah satunya, larangan rapat di hotel yang mematikan sektor perhotelan. “Ini berefek anak lulusan SMK tidak bisa diterima bekerja di hotel. Karena, bisnis hotel lesu, tidak mendapat insentif kebijakan dari APBD Pemprov Banten,” lanjutnya. Fitron juga menyoroti soal kompetisi dengan kebijakan SMK dan SMA yang dibuat flat anggarannya. Hal tersebut memperkecil peluang partisipasi masyarajat untuk peningkatan kualitas pendidikan. “Lulusan SMK jadi tidak kuat bersaing di dunia kerja. Sehingga, wajar jika SMK penyumbang angka pengangguran tertinggi,” tegasnya. Belum lagi menurut Fitron program di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) lebih banyak formalitas. Anggaran tinggi tapi tidak fokus pada pengurangan angka pengangguran. “Program disnakertrans banyak seremonial dan sama dari tahun ke tahun. Kita sudah bedah rencana kerja anggarannya pada saat rakor. Melihat perencanaannya di 2020 saja kami pesimistis” tuturnya. Fitron juga menegaskan, sudah mengingatkan Disnakertrans saat rapat koordinasi (rakor) bersama Pemprov Banten. “Hati-hati dengan program, kalau gubernur tidak melakukan evaluasi program OPD terkait dan ngotot seperti ini, kebijakan sektor tenaga kerja pasti akan kedodoran,” ungkapnya. Menurut, Fitron penyumbang pengangguran terjadi di semua kabupaten dan kota di Banten. Disnakertrans Banten seharusnya mampu memposisikan sebagai koordinator. "Disnakertrans Banten lemah dalam hal koordinasi dengan kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan pengangguran. Pemprov Banten tidak memainkan peran sebagai koordinator untuk koordinasi teknis dengan masing-masing kabupaten/kota,” ungkapnya. Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Banten pada periode Agustus 2019 sebesar 8,11 persen. Angka itu melebihi rata-rata nasional sebesar 5,28 persen dan menjadikan Banten sebagai provinsi dengan TPT tertinggi se-Indonesia. Hal tersebut terungkap dalam ekspose keadaan ketenagakerjaan Banten yang digelar di Kantor BPS Provinsi Banten, KP3B, Kecamatan Curug, Kota Serang, Selasa (5/11). Dalam ekspose itu dipaparkan, TPT Banten berada di atas Jawa Barat yang berada di peringkat kedua sebesar 7,99 persen. Kemudian, Provinsi Maluku di peringkat ketiga dengan 7,08 persen, Kepulauan Riau di peringkat empat dengan 6,91 persen. Sementara untuk DKI Jakarta berada di peringkat ketujuh dengan persentase 6,22 persen. Kepala BPS Provinsi Banten Adhi Wiriana mengatakan, gambaran ketenagakerjaan Provinsi Banten periode Agustus 2018 hingga Agustus 2019 menunjukkan terdapat peningkatan jumlah penduduk bekerja sebesar 230.350 orang, dari 5,33 juta menjadi 5,56 juta orang. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengalami peningkatan dari 63,49 persen menjadi 64,52 persen. “Angka pengangguran menunjukkan penurunan dari 8,52 persen pada Agustus 2018 menjadi 8,11 persen pada Agustus 2019. Tapi memang effort in (upayanya) ternyata masih kurang canggih dibanding provinsi lain. Kelihatan kita (Banten) terbesar se-Indonesia, dari 34 provinsi kita nomor satu pengangguran,” ujarnya. Pada Agustus 2018, tercatat pengangguran di angka 8,52 persen. Saat itu Banten juga menempati peringkat tertinggi dibanding 33 provinsi lainnya di Indonesia. Adhi Wiriana merinci penyumbang angka pengangguran di Banten. Kabupaten Serang menjadi daerah dengan TPT tertinggi yaitu sebesar 10,65 persen. Kota Cilegon 9,68 persen. Kabupaten Tangerang 8,91 persen, dan Kabupaten Pandeglang 8,71 persen. Kemudian, Kota Serang 8,08 persen, Kabupaten Lebak 8,05 persen, Kota Tangerang 7,13 persen, dan Kota Tangerang Selatan 4,79 persen. Diungkapkan Adhi, tingginya angka pengangguran di Banten disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dilanda musim kemarau berkepanjangan sejak Februari hingga September. Petani terpaksa menganggur karena kondisinya tak bisa menanam. “Kedua, terjadi beberapa hal di industri di Banten. Krakatau Steel kemarin merumahkan pekerja oursourcing. Kemudian ada peralihan industri di Tangerang Selatan, (PT) Sandratex itu pindah atau tutup yang mengakibatkan pengangguran meningkat,” ungkapnya. Dilihat dari komposisi pencari kerja menurut pendidikan, pencari kerja di Provinsi Banten didominasi oleh mereka yang berpendidikan menengah (SMA/SMK). Tingkat pendidikan SD ke bawah terdapat 18,50 persen. Kemudian SMP 16,36 persen, SMA 31,73 persen, SMK 23,51 persen. Diploma I/II/III 2,88 persen dan tamatan universitas 7,03 persen. “Di lain pihak, migran masuk yang berpendidikan tinggi lebih mudah memperoleh pekerjaan di Banten,” tuturnya. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten, Al Hamidi mengatakan, pengangguran di Banten tinggi, salah satunya disebabkan oleh penerapan Peraturan Gubernur (Pergub) Banten Nomor 9 Tahun 2018 terkait perusahaan wajib melaporkan lowongan yang belum efektif. "Pergub itu kan maksudnya supaya mengatur lowongan. Seandainya harus ada jatah 70 persen Banten dan 30 persen orang luar juga kan tidak diatur dalam undang-undang, tapi inikan belum efektif," kata Al Hamidi saat dihubungi melalui telepon, Rabu (6/11). Selain itu, kata Al Hamidi, faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran yaitu banyaknya percaloan. "Jadi untuk masuk ke perusahaan itu dimintai duit. Kalau rata-rata di atas Rp5 jutalah ya. Itu juga menjadi faktor penyebab bahwa sulitnya calon tenaga kerja lokal untuk masuk ke perusahaan," katanya. Al Hamidi meminta masyarakat melaporkan jika terjadi percaloan tenaga kerja. "Itu kan sebenarnya termasuk delik aduan. Karena kita belum pernah menemukan, saya sendiri berkoar-koar tolong coba buktikan. Itu enggak ada yang bisa membuktikan tapi itu terjadi praktiknya. Itu pidana kalau memang terjadi jadi ranahnya sudah kejahatan," ujarnya. "Mungkin juga ada sebagian dari oknum aparat yang ada di sekitar wilayah pabrik. Pokoknya banyak. Ada juga dari oknum tertentu, dari sponsor atau calo, apalah namanya," sambungnya. Banyaknya pendatang dari luar daerah untuk mengadu nasib mencari pekerjaan, kata Al Hamidi, dinilai menjadi penyebab tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Banten. Mereka yang tak tertampung di pasar kerja terakumulasi dengan pencari kerja dari warga lokal Banten. Ia menuturkan, terdapat dua gelombang membeludaknya serbuan pendatang luar daerah ke Banten. Pertama, adalah pasca lebaran dan kedua, setelah tahapan kelulusan semua tingkat pendidikan. Jumlah pendatang yang masuk di dua gelombang itu bisa mencapai 7 hingga 10 persen dari jumlah penganggur. "Adanya pelonjakan pencari kerja. Jadi banyaknya urbanisasi dari luar Banten itu mencari pekerjaan. Belum tentu semua itu terserap kan, menumpuk sehingga menjadi disangka pengangguran," ujarnya. Dari data yang dimiliki Disnakertrans Banten, para pendatang nyatanya mampu lebih dominan menyerap lapangan kerja. Dari total jiwa yang kini bekerja, 70 persennya merupakan warga luar Banten. "Sekarang data yang kita lihat 1,5 juta lebih orang yang bekerja, kalau data BPS 1,6 juta lebih. Itu 70 persen dari luar Banten yang saat ini bekerja di Banten di sektor formal. Hampir seluruh (daerah asal pendatang) kalau di Banten, dari Jawa yang jelas itu, Jawa Timur dan Jawa Tengah," ujarnya. (yus)

Tags :
Kategori :

Terkait