JAKARTA - Presiden Joko Widodo didesak menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk membatalkan UU KPK yang pekan lalu disahkan DPR RI. Desakan itu berasal dari sejumlah kalangan. Bahkan ribuan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, pada Selasa (24/9). Istana menegaskan Jokowi jangan dipaksa membatalkan UU KPK. "Jangan memaksa Presiden mengeluarkan Perppu. DPR pekan lalu baru mengesahkan. Saat ini tinggal menunggu penomoran undang-undangnya. Masa presiden dipaksa mengeluarkan Perppu. Daripada memaksa presiden, lebih baik ajukan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Indonesia adalah negara hukum. Sudah ada mekanisme yang diatur UU. Kalau tidak setuju dengan UU KPK, silakan gugat ke MK," tegas Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin di Jakarta, Rabu (25/9). Seperti diketahui, Revisi UU KPK disahkan menjadi UU KPK melalui rapat paripurna di DPR pada 17 September 2019. Presiden Jokowi juga mengirimkan surat presiden (surpres) menyetujui revisi tersebut. "Sistem ketatanegaraan sudah mengatur. Kita kawal sama-sama di mana pasal yang melemahkan KPK. Dimana pasal-pasal yang membuat KPK mandul. Caranya ya melalui mekanisme di MK," imbuhnya. Dikatakan, dalam tuntutannya mahasiswa meminta RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba dan RUU Pertanahan tidak disahkan. Presiden, lanjutnya, sudah meminta kepada DPR untuk menunda. Melalui rapat paripurna, dewan pun sepakat melakukan penundaan. "Nah, DPR sudah menyetujui penundaannya. Terus, mau apa lagi. Sekali lagi, apabila ada yang tidak setuju, ajukan gugatan ke MK. Itu namanya berdemokrasi dan memenuhi tata aturan yang baik dan benar," ucap Ngabalin. Hal senada juga disampaikan Menkumham Yasonna Laoly. Dia mempersilakan pihak yang menolak UU KPK mengajukan judicial review ke MK. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu pembatalan UU tersebut. "Presiden sudah bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa main paksa-paksa. Kita hargai mekanisme konstitusional. Kecuali tidak menganggap negara ini negara hukum lagi," papar Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/9). Semua pihak, lanjutnya, harus taat pada mekanisme hukum di Indonesia. Masyarakat tidak bisa memaksa Presiden mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK. Yasonna menilai desakan publik melalui unjuk rasa besar-besaran bukanlah cara yang bijak untuk menyikapi pengesahan UU KPK. "Jangan dibiasakan. Cara-cara itu mendeligitimasi lembaga negara. Seolah-olah nggak percaya pada MK. Itulah makanya dibuat MK," ucapnya. Sementara itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut satu-satunya cara untuk mewujudkan tuntutan mahasiswa adalah melalui uji materi UU di MK. Soal tuntutan mahasiswa soal pembatalan sejumlah RUU kontroversial, DPR dan pemerintah sudah menyetujuinya. "Yang dilakukan adalah hanya menunda pengesahan, bukan membatalkan," tegas Bamsoet. Penundaan pengesahan beberapa RUU itu, hingga waktu yang tidak ditentukan. Bila tidak bisa selesai di masa periode DPR 2014-2019, akan dibahas pada periode selanjutnya yang akan dilantik 1 Oktober mendatang. Politikus Golkar ini menegaskan, DPR masih membuka pintu kepada para mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasinya. Terpisah, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyatakan kini nasib KPK berada di tangan Jokowi. Dia menjelaskan, UU KPK tidak bisa dilepaskan dari persetujuan Jokowi. UU itu disetujui DPR lewat rapat paripurna 17 September 2019. "Jokowi jangan buang badan dari aspirasi mahasiswa yang menginginkan Perppu. Presiden yang menyetujui pembahasan dan pengesahannya. Sekarnag bola di tangan Presiden," jelas Fadli.(rh/fin)
Jokowi Tetap Tolak Keluarkan Perppu UU KPK, Istana: Jangan Paksa Presiden
Kamis 26-09-2019,03:48 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :