Krisis Air Ancam 5 Kecamatan, 764 Hektare Sawah Tak Bisa Ditanami Padi

Senin 22-07-2019,06:36 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

TIGARAKSA-Lima kecamatan di Kabupaten Tangerang berpotensi krisis air. Sumur yang menjadi sumber utama air bagi warga, kering. Saat ini kekeringan sudah menyusahkan warga di dua kecamatan. Kecamatan Curug dan Panongan. Warga di Kampung Cukanggalih RT 006/008, Desa Cukanggalih, Kecamatan Curug, sudah mendapatkan suplai air dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pun, dengan Kampung Penyambir RT 01/01, Desa Serdang Kulon, Kecamatan Panongan, Minggu, (21/7) Pukul 14.15 WIB, BPBD menyuplai air di kedua kampung tersebut. Kepala BPBD Kabupaten Tangerang, Agus Suryana mengatakan, sebanyak tiga mobil tangki dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan air dengan kapasitas 5 ribu liter air. Hingga kini, baru dua desa yang meminta dikirim air bersih untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK). “Kalau kekeringan baru memasuki tahap awal, belum puncak. Kita perkirakan puncaknya pada Agustus nanti. Hingga hari ini (kemarin) kita sudah mengirimkan 20 ribu liter air dengan mobil kita ke dua desa. Kita fokus pada kebutuhan untuk mandi dan minum, kalau kekeringan seperti ini,” ujarnya kepada Tangerang Ekspres, Minggu (21/7). Senada, Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Kabupaten Tangerang, Kosrudin mengaku, terdapat 5 kecamatan yang berisiko mengalami kekurangan air bersih saat kekeringan. Untuk itu, ia berharap adanya peran dari kepala desa untuk membuat penampungan tadah hujan. “Ada Kecamatan Curug, Legok, Kelapa Dua utamanya di daerah Bonang. Lalu, Kronjo, dan Panongan yang berisiko. Harapan kita adanya pemanfaatan dana desa untuk membuat embung. Khusus masyarakat di pantura itu mereka hanya kekurangan air bersih saja untuk minum. Karena airnya payau jadi walaupun musim hujan atau kemarau mereka tetap kekurangan air bersih untuk minum,” ujarnya. Lanjutnya, banyak faktor yang menyebabkan kekeringan. Utamanya di Legok yang setiap tahun sering kekeringan. Mulai dari kontur tanah sehingga dibutuhkan pengeboran hingga puluhan meter untuk mendapat air bersih. “Kemudian perkembangan penduduk utamanya kawasan permukiman yang menggunakan air tanah serta menjamurnya pabrik yang memakai air tanah,” lanjutnya. Kata Kosrudin, selain adanya penampungan air hujan, pemanfaatan dana desa bisa digunakan untuk dapat membangun penampungan atau tangki air di setiap di RT ataupun RW. Sehingga tidak ada lagi antrean panjang warga saat mobil dari BPBD mengirimkan air bersih. Terutama di Desa Palasari, Kecamatan Legok yang kerap langganan kekeringan. “Sehingga kita ingin di kawasan yang kering ini ada pemanfaatan dana desa oleh kepala desanya, utamanya penampungan air sehingga praktis ketika kita mengantarkan air ada penampungannya,” jelasnya. Untuk itu, ia berharap adanya inisiasi dari kecamatan untuk berkoordinasi lintas organisasi perangkat daerah (OPD) untuk dapat mengatasi masalah kekeringan. Walaupun saat ini sudah terdapat tiga mobil air bersih yang dapat mengangkut hingga 45 ribu liter air setiap harinya. “Memang ini harus ada rapat koordinasi karena kekeringan tidak saja tanggung jawab BPBD. Kita berharap masyarakat untuk tidak semata-mata bergantunga kepada kami saja. Akan tetapi harus dikombinasi dengan pihak lain seperti perusahaan air minum untuk mengatasi kekeringan. Saat ini kita punya tiga mobil dengan kapasitas 5 ribu liter, bisa tiga kali mengangkut,” tukasnya. Dampak musim kemarau berkepanjangan dirasakan petani tadah hujan. Petani sudah tidak menanam padi sejak beberapa bulan lalu. Pasalnya, mereka hanya mengandalkan air hujan untuk menyuplai air ke lahan persawahannya. Kusnadi, penyuluh pertanian pada Balai Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) Tegal Kunir, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, mendeteksi ratusan hektare sawah kekeringan. “Berdasarkan data, lahan sawah tadah hujan seluas 539 hektare di Kecamatan Mauk. Dan seluas 225 hektare di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang. Total luas lahan sawah tadah hujan di dua kecamatan itu yakni 764 hektare. Kemudian, kondisinya kekeringan pada saat ini,” kata Kusnadi. Kusnadi menjelaskan, petani yang mengelola sawah tadah hujan sudah tidak berani menanam padi akibat kemarau berkepanjangan. Alasannya, mulai dari bibit hingga usia tanam 30 hari, padi membutuhan air yang cukup. Jadi pada masa itu adalah awal pertumbuhan padi. Selanjutnya, setelah butir padi tumbuh, tidak mendapatkan air yang cukup tidak bermasalah. Di sisi lain, dikatakan Kusnadi, sekarang lahan persawahan irigasi teknis, yang menerima suplai air dari irigasi masih dapat dikelola dengan petani. Ia menjelaskan, lahan sawah irigasi teknis seluas 2.266 di Kecamatan Mauk, dan seluas 1.364 di Kecamatan Kemiri. Total luas lahan sawah irigasi di kedua kecamatan tersebut, yaitu seluas 3.630 hektare. “Akibat musim kemarau berkepanjangan, baru berdampak kepada lahan sawah tadah hujan saja. Sedangkan persawahan irigasi teknis masih aman. Sebab, suplai air dari irigasi masih mencukupi untuk persawahan itu,” jelasnya. Tetapi, menurut Kusnadi, sebaiknya saluran irigasi yang menyuplai air ke lahan sawah irigasi teknis harus dikeruk dan direhab. Sebab, saluran air sudah mengalami pendangkalan. Kemudian, tembok penggiran saluran air banyak yang rusak. “Jadi, ketika air hampir meluber, itu bukan karena debit airnya banyak. Tapi, karena pendangkalan,” jelasnya. (mg-10/zky)

Tags :
Kategori :

Terkait