JAKARTA--Potensi politik uang pemilu 2019 kemungkinan akan sama bahayanya dibanding Pemilu 2014. apalag saat ini, pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan beresamaan. "Dari sisi skilnya itu di 2019 tingkat politik uang ada 10,5 persen, pemilih di 2009 yang mendapati tawaran politik uang di 2014 naik jadi 33 persen dan kita tidak tahu dengan potensi politik 2019, tetapi karena sistem pemilunya sama dan saat yang sama pula kita menghadapi kenyataan di mana pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak," kata Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Mutadi, Jakarta, Jumat (8/2). Ia juga mengatakan fokus dan perhatian lebih banyak ke pilpres dan saat yang sama pula caleg yang berlaga di tingkat pemilu legislatif meningkat tajam seiring dengan bertambahnya Dapil dan jumlah kursi, maka kemungkinan besar politik uang akan meningkat tajam dibanding 2014. Sistem pemilu yang tidak berubah, tambah Burhanuddin, memberi insentif buat para caleg menggunakan uang sebagai amunisi untuk memenangkan kursi efektivitasnya. Sebenarnya tidak terlalu bagus yang pertama, ada banyak cerita soal US targeting dari sisi antara target yang ingin dicapai dengan kenyataan. Siapa yang menerima politik uang itu ada diskrepansi, umumnya caleg pengen menarget pemilih yang loyal tetapi kenyataannya pemilihan bisa sedikit jumlahnya. Politik uang pada prakteknya itu justru banyak yang menerima adalah kelompok yang oportunis mereka pemilihan swing terima uangnya soal pilihan tergantung hati nurani mereka masing-masing. Ditempat berbeda, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan, mengimbau masyarakat Indonesia mau menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019 nanti. Menurut Viryan, masyarakat pemilih rugi jika menjadi golput atau tidak menggunakan hak pilih. "Libur kan bisa tiap minggu, sementara jika memilih itu setiap lima tahun sekali. Maka rugi jika tidak memilih. Jadi, golput itu rugi,” ujar Viryan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/2). Dia menjelaskan jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, maka yang bersangkutan tidak terlibat dalam penentuan pemimpin yang akan menentukan nasibnya lima tahun mendatang. Padahal, kata Viryan, kesempatan itu bisa digunakan untuk memilih pemimpin legislatif dan eksekutif. "Kita punya kesempatan menentukan siapa yang terpilih tetapi kita memilih untuk tidak terlibat, kan rugi. Karena nasib kita nanti ditentukan oleh mereka, sekarang nasib mereka ditentukan oleh kita. Mau nasibnya ditentukan dengan orang yang kita tidak tahu? Kita serahkan begitu saja? Nggak keren kalau, nggak milih," jelas Viryan. Viryan mengakui, golput adalah hak, namun dia mengingatkan bahwa golput sekarang tidak keren lagi. Golput, kata Viryan, kerannya di Orde Baru karena ada intimidasi dan potensi manipulasi. "Golput itu hak, tetapi sudah nggak keren. Kerennya itu golput di Orde Baru. Kalau sekarang apa yang mau di-golput-in, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mnnggunakan hak pilihnya, tidak ada intimidasi, potensi manipulasi seperti masa lalu kecil dan satu suara memang menentukan," tegas Viryan. Menurut Viryan apabila orang melakukan golput maka akan rugi. Karena apabila satu orang golput, maka Pilpres juga tetap berjalan. Dan calonnya juga tetap akan terpilih. "Golput itu rugi, karena kalau tidak memilih siapapun orangnya pasti tetap akan terpilih," katanya. Viryan juga mengaku bingung kenapa orang memilih golput. Karena berbeda saat era Orde Baru silam, adanya intimidasi dari oknum yang memaksa masyarakat untuk bisa memilih calon tertentu. "Kalau sekarang ini apa yang digolputin, setiap orang punya kesempatan yang sama. Tidak ada intimidasi juga. Potensi manipulasi seperti masa lalu juga kecil," ungkapnya. Oleh sebab itu KPU mengajak masyarakat tidak golput. Masyarakat kata Viryan, memang ingin menyerahkan calon pemimpin yang tidak dikenal. "Memang mau nasibnya tentukan dengan orang yang kita enggak tahu, kita serahkan begitu saja," pungkasnya.(jp/rep)
Politik Uang Makin Meningkat, KPU Himbau Masyaratakat Jangan Golput
Sabtu 09-02-2019,03:20 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :