TIGARAKSA - Perauturan Bupati Nomor 47 tahun 2018 tentang pembatasan jam opersional truk angkutan tanah, pasir, dan batu, telah resmi diberlakukan sekitar satu bulan. Perbup tersebut mengatur jam opersional mulai pukul 22.00 hingga 05.00 WIB. Muali dari aksi tutup jalan di Parung Panjang-Legok hingga mediasi dengan Bupati Tangerang. Para pengusaha transporter serta konsumennya merasa dirugikan, mereka beralasan pembatasan jam operasional truk menghambat sejumlah proyek yang sedang dikerjakan, seperti tol Serpong-Balajara, Perluasan Run Way III, poryek properti di Jabodetabek, serta proyek lainnya yang menggunakan tanah, pasir dan batu sebagai bahan baku. Menanggapi hal tersebut, Bambang Mahardi, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang, mengatakan, proses disahkannya perbup tersebut telah melewati berbagai kajian. Mulai dari aspek pembangunan, eknomi, kemaslahatan, lalu lintas, dan beban jalan. Seperti jalan di wilayah perbatasan, yang dinilai dishub memiliki tingkat kemacetan tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah industri di daerah Legok-Parung Panjang, sehingga timbul aktivitas industri cukup padat. "Tanpa truk tanah sudah macet apabila siang hingga sore hari. Ada enam industri di sana itu," katanya, kepada Tangerang Ekspres, kemarin. Pihak Dishub Kabupaten Tangerang mengaku siap untuk dilakukan adu kajian perihal Perbup Nomor 47 tahun 2018, tentang pembatasan jam opersional truk tanah. Bambang berpendapat, telah mempunyai kajian tersendiri yang siap untuk diadu. Adu kajian tersebut menimbulkan pemahaman yang sama soal perbup, dan tidak ada pihak yang meminta untuk dikaji ulang karena merasa dirugikan. "Sekarang bukan zamannya lagi kaji ulang, silahkan buat kaji sendiri lalu lawan kajian kita nanti timbul diskusi hasil kajian bukan keluhan. Sepanjang dengan ilmu transportasi silahkan. Karena ilmu tersebut multi disiplin," tegasnya. Secara ilmu lalu lintas yang didalaminya, Bambang, menerangkan, kajian yang dimilikinya secara sederhana dapat dihitung sehingga penerapan perbup dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. "Metodenya derajat kejenuhan, dimana dihutung berdasar pada volume arus lalu lintas berbanding dengan kapasitas jalan. Maka didapat nilai ambang batas 0,6," lanjutnya. Menurut Bambang, perbandingan volume lalu lintas di pagi hingga sore didapat nilai rasio diatas nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Sehingga masuk kategori padat. Hal itu dapat dilihat dengan cara menghitung volume arus kendaaraan dengan kapasitas jalan. Apalagi ditambah dengan adanya truk tanah yang melintas pada pagi hingga sore hari yang hanya menambah kemacetan. "Tidak seperti waktu pagi hingga sore yang mencapai visi rasio diatas 0,6. Dimana arus lalu lintas cenderung tidak stabil, laju kendaraan terkadang terhenti karena kapasitas jalan dengan jumlah kendaraan mulai tidak seimbang. Apalagi ditambah dengan adanya truk tanah malah makin macet," sambung Bambang. Bambang menyatakan tidak ambil pusing dengan jumlah rit yang menurun, ia berpendapat jumlah rit merupakan tanggungjawab para sopir truk. Dirinya tetap berpegang teguh pada hasil kajian sebelum perbup disahkan. Selain dengan kajian volume arus lalu lintas, Bambang menegaskan, secara hukum Perbup Nomor 47 Tahun 2018 tentang pembatasan jam opersional truk tanah, tidak melawan hukum ataupun peraturan perundang-undangan. "Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan daerah wajib membuat ketertiban di jalan nasional, provinsi, atau kabupaten/kota. Khusus Parung Panjang dan jalan provinsi, kita bekerja sama dengan provinsi. Pihak provinsi juga telah memasang rambu lalu lintas permanen demi mendukung penegakan perbup," pungkasnya.(mg-10/mas)
Tantang Adu Kajian Perbup 47, Kadishub: Pengesahan Sudah Melalui Berbagai Kajian
Jumat 01-02-2019,04:51 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :