Di Banten, 6 Caleg Eks Napi Korupsi

Kamis 31-01-2019,07:51 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA-Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan calon anggota legislaltif (caleg) mantan koruptor. Total ada 49 orang. Rinciannya, caleg DPRD provinsi 16 orang, caleg DPRD Kab/Kota 24 orang, caleg DPD 9 orang. Berdasarkan rilis KPU Pusat, di Banten ada 6 caleg eks napi korupsi dari tiga partai politik (parpol), Golkar, PAN dan Demokrat. Dari partai Golkar adalah Desy Yusandi dan Agus Mulyadi R yang maju menjadi caleg DPRD Banten. Masih dari partai Golkar, Heri Baelanu dan dan Dede Widarso menjadi caleg DPRD Pandeglang. Dari PAN, Bahri Syamsu Arief caleg DPRD Kota Cilegon. Sementara dari Partai Demokrat, Jhony Husban caleg DPRD Kota Cilegon. Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, sebelum mengumumkan nama-nama caleg tersebut, sudah melakukan kroscek hingga tingkat kabupaten/kota. "Untuk caleg DPR, tidak ada yang eks koruptor," jelas Arief di kantor KPU Pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/1) malam. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menambahkan, pihaknya harus berhati-hati dalam merilis puluhan nama caleg yang pernah tersandung kasus korupsi. "Kami tidak bisa mengumumkan secara sembarangan. Jadi harus diperiksa berkali-kali secara teliti. Agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," kata Pramono. Pramono menjelaskan, pihaknya juga masih melakukan kroscek kepada KPU daerah untuk memastikan ke pengadilan setempat. Caleg yang akan dirilis adalah caleg yang pernah dijatuhi hukuman. Lebih lanjut ia mengatakan, jika eks koruptor yang akan diumumkan ke publik, adalah koruptor yang diancam hukuman 5 tahun penjara, bukan oleh hakim atau jaksa. Menurutnya, pengumuman napi mantan terpidana korupsi merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat. Agar masyarakat bisa memilih calon wakil rakyat yang tidak punya catatan buruk baik secara personal, publik, ataupun penyelewengan keuangan negara. Selain koruptor, KPU juga akan merilis mantan narapidana yang tersangkut kasus hukum lain seperti kekerasan seksual, kriminal, dan kejahatan lainnya. "Tapi satu-satu. Kalau langsung semuanya malah ngga fokus nanti," tandasnya. Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai dalam pemilu bukan hanya sekadar melakukan hak pilih tetapi juga harus mendapatkan sosok wakil sekaligus pemimpin rakyat yang terbaik untuk melaksanakan amanat. Harus diingat bahwa Pemilu itu tidak hanya mewadahi hak dipilih orang saja. Tapi juga mewadahi hak orang untuk mendapatkan calon pemimpin yang baik. Oleh karena itu harus dibuat sistem yang memastikan bahwa semua orang yang baiklah yang akan dipilih, bukan orang yang bermasalah," tegas Ray di Jakarta, Rabu (30/1). Ia menambahkan dengan adanya pengumuman terkait caleg eks napi koruptor tersebut, KPU dinilai sudah melakukan satu upaya untuk mencegah tindak pidana korupsi bersarang di kursi parlemen Indonesia. "Itulah batasan paling minimal tindakan KPU berencana mengumumkan caleg eks koruptor sebagai sumber pengetahuan masyarakat terhadap calon mereka di legislatif saat Pemilu 2019 mendatang dan ini menurut saya dalam konteks mencegah kembalinya mantan napi koruptor ini ke politik," papar Ray. Terkait dengan sindiran Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah langkah tersebut merupakan pencitraan, Menurutnya dengan kebijakan tersebut KPU sama sekali tidak diuntungkan dengan langkah itu."Apa pentingnya KPU melakukan pencitraan, dia (KPU) kan bukan politisi yang butuh citra. Dia hanya butuh kepercayaan publik saja. Jadi bukan pencitraan itu ya," tandasnya. Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai, niat KPU mengumumkan calon legislatif atau caleg mantan koruptor sebagai bentuk pencitraan. Karena itu, Fahri menilai daripada KPU pencitraan, lebih baik menjaga pemilu berjalan sukses. "KPU tidak usah pencitraan. KPU jaga keadilan pemilu saja, tidak usah pencitraan, tidak usah ikut agenda KPK," kata Fahri di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta. Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini pun mengingatkan biarkan lembaga lain saja yang melakukan pencitraan. KPU tidak usah ikut-ikutan. KPU sebaiknya menjalankan undang-undang saja. Lebih baik, KPU memastikan rakyat dan peserta pemilu agar puas dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang ada. "Pastikan petugas pemilu ada di semua tempat pemungutan suara (TPS), formulir-formulir sampai ke tingkat pusat dan lainnya. Tidak usah gimmick-gimmick yang lain," imbuhnya. (fin)

Tags :
Kategori :

Terkait