Jakarta -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan Indonesia bisa keluar dari dari jebakan negara dengan pendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju dalam 17 tahun ke depan atau pada 2036 mendatang. Syaratnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,7 persen per tahun. Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan ini merupakan skenario agresif pemerintah. Dalam skenario tersebut, pada 2045 mendatang pendapatan per kapita Indonesia per tahunnya bisa menyentuh US$23.199 per tahun atau Rp324,79 juta (asumsi kurs saat ini Rp14 ribu per dolar AS). "Sekarang kan Indonesia masuk di low middle income (pendapatan menengah ke bawah, nah mungkin 2020 bisa upper middle (menengah ke atas)," tutur Bambang, Selasa (8/1). Berdasarkan data terbaru, rata-rata PDB per kapita Indonesia per akhir 2017 mencapai US$3.876,8 atau sekitar Rp51,89 juta. Sementara saat ini, Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam empat kelompok pendapatan, yakni kelompok negara berpendapatan rendah dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar US$995 ke bawah, negara berpendapatan menengah ke bawah di kisaran US$996-3.895, negara berpendapatan menengah ke atas US$3.896-12.055, dan negara pendapatan tinggi atau maju yakni di atas US$12.056. Jika ancang-ancang ini terealisasi, maka Indonesia akan berada dalam peringkat Produk Domestik Bruto (PDB) kelima terbesar di dunia. Namun, Bambang masih memiliki skenario lebih dasar, di mana Indonesia bisa keluar dari middle income trap pada 2038 jika pertumbuhan ekonomi konsisten 5,1 persen sejak 2017 hingga 2038. "Angka 5,1 persen bukan berarti didiamkan seperti sekarang saja, tapi dengan posisi sekarang lalu perbaikan atau reformasi yang masif juga," jelas Bambang. Menurut hitung-hitungan Bappenas, bila pertumbuhan ekonomi bisa stabil di level 5,1 persen, maka pendapatan per kapita Indonesia pada 2045 mendatang diramalkan tembus US$19.794 atau Rp277,12 juta per tahun. "Intinya jangan sampai pertumbuhan ekonomi di bawah 5,1 persen," tandas Bambang. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2018 kemarin sebesar 5,17 persen secara tahunan. Realisasi itu lebih rendah dibandingkan kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen. Hanya saja, angkanya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal III 2017 yang sebesar 5,06 persen. Pemerintah pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu mencapai sekitar 5,15 persen. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di level 5,1 persen, lanjut Bambang, upaya yang bisa dilakukan dengan menciptakan iklim kondusif untuk industri. Beberapa industri yang menjadi prioritas, di antaranya makanan dan minuman (mamin), tekstil, otomotif, elektronik, serta kimia dan farma. "Modernisasi industri difokuskan pada sentra industri dengan integrasi rantai pasok dan rantai nilai dari hulu ke hilir," terang Bambang. Ia menekankan pelaku industri perlu menaikkan nilai tambah untuk produknya agar barang yang dijual bisa lebih mahal. Tak hanya bisa memberikan harga tinggi di dalam negeri, tapi juga untuk ekspor. "Pertumbuhan ekonomi biasanya kan dari konsumsi, sekarang harus ditingkatkan juga dengan ekspor. Ya tapi memang diakui ekspor kondisinya tergantung global," ujar Bambang. Informasi saja, neraca perdagangan Indonesia masih defisit pada November 2018 sebesar US$2,05 miliar, naik dari Oktober 2018 sebesar US$1,82 miliar. Jika diakumulasi Januari-November 2018, defisit perdagangan telah mencapai US$7,52 miliar. (cnn)
Indonesia Butuh 17 Tahun Lagi Untuk Bisa Menjadi Negara Maju
Rabu 09-01-2019,05:04 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :