Pindah Domisili Setelah 17 Maret Tak Bisa Nyoblos
JAKARTA – KPU mengakui ada kelemahan dalam regulasi daftar pemilih tambahan (DPTb) Pemilu 2019. Regulasi tersebut tidak memungkinkan pemilih tambahan mengajukan pindah memilih secara mendadak. Meskipun demikian, KPU berjanji mencari celah hukum agar pendaftaran DPTb secara mendadak bisa tetap diakomodir. Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, UU sejak awal memang membatasi pendaftaran DPTb. ’’Undang-undang hanya memberi ruang tiga itu. DPT, DPT, dan DPK untuk bisa menggunakan hak pilih. Tidak dengan yang lain,’’ terangnya saat ditemui di KPU kemarin (17/12). UU Pemilu tidak memberi ruang pendaftaran DPTb setelah batas waktu 17 Maret terlewati. Yang menjadi problem adalah orang yang tiba-tiba harus dirawat di RS. Juga bila ada yang pindah tugas secara mendadak setelah 17 Maret, batas akhir pendaftaran DPTb. Pembatasaan dilakukan untuk memberi ruang pada KPU menyiapkan perubahan distribusi logistik. Mana saja daerah yang perlu ditambah surat suaranya. Karena itu, untuk saat ini pihaknya akan membahas problem tersebut secara internal. Khususnya, bagaimana mencari celah hukum untuk bisa memfasilitasi pemilih yang pindah setelah batas waktu H-30. ’’Prinsipnya, setiap orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih, maka dia harus dilindungi untuk dapat menggunakan hak pilihnya,’’ lanjut alumnus SMAN 9 Surabaya itu. Untuk memfasilitasi hal tersebut, harus dibuatkan dasar hukum. Bila Peraturan KPU sudah memberi ruang, tinggal dibuatkan petunjuk teknis. Namun, bila tidak ada ruang, KPU akan merevisi PKPU dan membuat terobosan hukum. Sehingga, pemilih yang pindah setelah H-30 masih bisa difasilitasi untuk masuk DPTb. Komisioner KPU Viryan Azis menjelaskan, konsep DPTb pada pemilu 2019 berbeda dengan 2014. Pada 2014, istilah DPTb digunakan untuk pemilih yang tidak tercatat di DPT. ’’Kalau sekarang, namanya DPK (Daftar Pemilih Khusus),’’ terangnya. Sebagaimana DPTb 2014, pemilih yang tercatat di DPK 2019 hanya bisa menggunakan hak pilihnya di TPS sekitar tempat domisilinya antara pukul 12.00-13.00. Sedangkan istilah DPTb pada pemilu 2019 digunakan untuk pemilih yang tercatat di DPT, namun mengajukan pindah lokasi memilih. Pada 2014, istilahnya adalah pemilih pindahan. Perbedaannya, pada 2014, nama dia tidak akan dicoret dari DPT di tempat asal. Sedangkan pada 2019, bila ada pemilih yang mengajukan pindah, namanya akan dicoret dari DPT tempat asal. Waktu satu bulan digunakan untuk memperbaiki DPT. Di sisi lain, polemik kotak dan bilik suara berbahan karton kedap air belum juga usai. Lini masa media sosial masih penuh dengan kontroversi penggunaan bahan tersebut untuk menjadi bagian logistik pemilu. Meskipun demikian, KPU memastikan kotak dan bilik suara berbahan karton tetap akan dipakai. Selain fungsinya sama, biayanya lebih murah. Kemarin Arief menggelar uji coba lagi di hadapan awak media. Kali ini, kotak suara diuji dengan semprotan air kran di depan media center KPU. ’’Kalau kamu mencobanya pakai semprotan hidran, itu namanya kurang kerjaan,’’ candanya menjelang uji coba. Menggunakan slang, Arief menyemprot kotak suara itu dari jarak dekat selama hampir satu menit. Hasilnya, kotak suara itu hanya basah di bagian luar. Saat diraba, hanya bekas airnya saja yang basah. Air tidak terserap oleh bahan karton. Bagian dalam kotak setebal setengah sentimeter itu tetap kering. Menurut Arief, kotak suara itu dipastikan kuat dan aman bila digunakan sesuai dengan peruntukannya. Yakni sebagai tempat menampung surat suara. ’’Jangan kemudian ada kebakaran lalu kotak ini dijadikan pelindung. Ya pasti jebol,’’ lanjut mantan anggota KPU Jawa Timur itu. Untuk keperluan pileg, beban yang ditanggung kotak suara diperkirakan mencapai 3-4 kilogram. Untuk pilpres, hanya sekitar 1,5 kilogram. Kotak suara tersebut sudah lulus uji beban dan tidak akan rusak meskipun dibebani manusia seberat 70 kilogram. Sebagai bukti, Arief juga menduduki kotak suara itu. (jpg)
Sumber: