Temukan Solusi di Pameran Kuliner
Reporter:
Redaksi Tangeks|
Editor:
Redaksi Tangeks|
Rabu 17-05-2017,06:45 WIB
Menyajikan produk makanan siap saji tanpa pengawet bukan perkara mudah. Terinspirasi dari produk retur di bisnis cake, Nova Aditya Prambudi menemukan bisnis baru. Awalnya, Nova menjalankan bisnis cake di Bogor, Jawa Barat. Usaha yang dijalankan bersama keluarganya itu cukup sukses. Namun, pada waktu-waktu tertentu, banyak produk yang terbuang karena cake hanya mampu bertahan beberapa hari. ’’Cake yang retur bisa satu bak Viar (mini-dump truck, Red). Kan sia-sia jadinya, terbuang semua,” katanya.
Nova yang saat itu berkuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) di Jogjakarta menemukan produk gudeg siap saji yang dikemas dalam kaleng. Dia pun ingin bisa memiliki produk makanan siap saji selain gudeg yang bisa tahan lama. Soal resep, Nova tak lagi bingung karena ada kakak iparnya yang jago masak. Dia hanya bingung cara pengemasan yang tepat agar produknya tahan lama.
Nova pernah belajar ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Jogjakarta untuk mencari tahu cara membuat produk makanan yang tahan lama. Namun, pengawetan makanan dengan nuklir belum bisa dilakukan secara masal. ’’Biayanya juga mahal,’’ ujarnya.
Nova lantas terpikir bahwa produk makanan tradisional sebetulnya lebih cocok dikemas dalam aluminum foil jika dibandingkan dengan kaleng. Dia pun mendapat jawaban dari perusahaan pengemasan asal Jepang dalam sebuah pameran. Pengemasan yang tepat adalah sterilisasi termal dan menggunakan empat layer kemasan aluminium khusus yang tahan terhadap suhu dan tekanan tinggi.
’’Kami mencoba meniru sistem yang ada di alat milik perusahaan peserta pameran itu,’’ ujar pria asal Tuban tersebut.
Meski makanan siap saji, Nova memang tidak memakai bahan pengawet. Nova memanfaatkan rempah-rempah sebagai bahan pengawet alami. ’’Rempah-rempah itu punya antioksidan yang juga berfungsi sebagai pengawet alami,’’ ucap pria 25 tahun itu.
Setelah menemukan cara pengemasan yang tepat, barulah dia berusaha mencari merek yang tepat. Mangano yang berarti makanlah akhirnya dipilih menjadi merek produk. Nova
membagi-bagikan sekitar 200 produk Mangano kepada masyarakat secara gratis. Modalnya berasal dari sisa keuntungan bisnis cake dan pinjaman
bank.
Respons masyarakat sangat baik. Dalam sebulan, ketika permintaan tinggi, Nova mampu menjual hampir 2.000 pieces makanan cepat saji. Nova bahkan sudah bisa menjual produknya ke salah satu perusahaan ritel terbesar.
Pada 2016 Nova memenangi
kompetisi Wirausaha Muda Mandiri (WMM) sebagai juara I kategori boga. Setelah brand Mangano mulai dikenal, dia diperingatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar segera mengurus izin. Saat itu Mangano memang baru memiliki izin perusahaan industri rumah tangga (PIRT) dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dibutuhkan waktu setahun bagi Nova untuk mengantongi izin BPOM. Banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dicurahkan sehingga Nova vakum produksi selama setahun. Tahun ini Mangano kembali berproduksi.
’’Kami perkenalkan lagi ke publik. Edukasi lagi, re-branding, dan desain kemasan sudah lebih baru,’’ ujar Nova yang kini sudah bergelar sarjana desain komunikasi visual dari ISI Jogjakarta.
Setelah mengalami seleksi dari selera konsumen, Mangano kini tersedia dalam berbagai rasa. Yakni, rendang jengkol, rendang sapi, kari ayam, opor ayam, dan semur daging. (rin/c19/noe)
Sumber: