YLBHI Desak Batalkan Aplikasi PAKEM
JAKARTA--Munculnya aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menuai protes sejumlah pihak. Salah satunya dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ketua YLBHI Asfinawati menilai, aplikasi PAKEM bisa memicu tindakan persekusi. Termasuk pembakaran rumah, pengusiran dari kediaman, bahkan pembunuhan yang terjadi kepada anggota kelompok keagamaan atau keyakinan tertentu karena pelaku merasa korban adalah kelompok sesat. "Atas dasar itu pula pelaku merasa berhak melakukan berbagai tindak kekerasan tersebut," ujarnya kepada JawaPos.com, Selasa (27/11). Berdasarkan sejumlah kasus, pelaku kerap melakukan persekusi didasari informasi yang keliru, bahkan sengaja dibuat menyesatkan. Misalnya, ada suatu aliran yang pengikutnya dituduh melakukan seks bebas atau aliran lain yang pengikutnya dituduh mengkafani jenazah dengan kain hitam. Selama proses pemeriksaan di pengadilan berlangsung tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, bahkan tidak didalilkan di dalam dakwaan karena memang tidak memiliki dasar yang kuat. Karenanya dengan kondisi tersebut Asfinawati berpendapat bahwa adanya aplikasi ini justru akan memicu peningkatan konflik di antara masyarakat. "Membuat kelompok atau individu penganut agama atau keyakinan yang dituduh sesat semakin rentan keselamatannya baik jiwa maupun harta bendanya," tegas dia. Asfinawati mengingatkan, UUD 1945 menyatakan bahwa 'Indonesia adalah negara hukum' dan 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum' serta 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya'. Untuk itu, semua warga negara memiliki jaminan yang sama dan larangan diskriminasi atas nama apapun termasuk karena agama dan keyakinan, juga ditegaskan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU 12 Tahun 2005 yang menjadikan Kovenan Sipol sebagai hukum Indonesia. YLBHI juga mengingatkan bahwa MK dalam putusannya Nomor 56/PUU-XV/2017 terkait judicial review UU 1/PNPS/1965, mengakui bahwa UU PNPS perlu segera direvisi secara mendalam. MK juga menegaskan jika ada seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan main hakim sendiri atau persekusi dengan dalih Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, maka negara wajib hadir dan bersikap tegas. Terhadap kekhawatiran terjadinya pembiaran oleh negara, Mahkamah menegaskan bahwa negara harus menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang hendak melaksanakan hak konstitusionalnya secara damai, termasuk dalam menganut agama dan keyakinannya. "Berdasarkan hal-hal di atas kami meminta Kejaksaan Agung menjalankan wewenangnya dan meminta Kajati DKI untuk membatalkan Aplikasi PAKEM," pungkas Asfinawati. Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Aplikasi ini dimaksudkan agar warga dapat melaporkan ormas atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang. Berdasarkan penjelasan Kajati aplikasi berisi beberapa fitur. Di antaranya adalah fatwa MUI, aliran keagamaan, aliran kepercayaan, Ormas, informasi dan laporan pengaduan. Juga data aliran yang ada di Jakarta, daerah mana ada aliran kepercayaan dan aliran keagamaan, mengetahui aliran keagamaan dan aliran kepercayaan yang dilarang, dilengkapi penyebab pelarangan oleh pemerintah dan wadah pengaduan masyarakat tentang aliran yang berkembang di Jakarta.(dna/JPC)
Sumber: