5 Kanwil dengan Rutan dan Lapas Overkapasitas Tertinggi

5 Kanwil dengan Rutan dan Lapas Overkapasitas Tertinggi

Overkapasitas diyakini menjadi penyebab utama setiap kerusuhan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh tanah air. Apalagi, dari 33 kantor wilayah (kanwil), hanya enam yang tidak kelebihan beban penghuni. Selebihnya, overcrowded.

Berdasar sistem database pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan ada yang kelebihan penghuni di atas 200 persen. Kanwil yang tercatat overkapasitas parah itu antara lain, Kalimantan Timur, Riau, DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat.
Jumlah penghuni di mayoritas lapas dan rutan di wilayah tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan jeruji besi. Dari data yang dimiliki Jawa Pos, Kanwil Kalimantan Timur memiliki 9.881 tahanan. Padahal, kapasitasnya hanya 2.928 orang. Di Kanwil Riau, dari kapasitas seharusnya 3.526 penghuni, ditempati 10.762 tahanan.
Di Jakarta juga demikian, jumlah tahanannya menembus 16.522 orang. Kapasitasnya? sebenarnya hanya untuk 5.851 orang. Di Kanwil Sumatera Utara juga tidak kalah banyak, dari kapasitas 9.956 tahanan, di isi sampai 27.225 orang. Terakhir, Kanwil Nusa Tenggara Barat yang memiliki 2.225 tahanan dari kapasitas 954 orang. Dosen Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) Kemenkum HAM Akbar Hadi mengakui overkapasitas itu tetap terjadi seiring tidak adanya pembenahan secara menyeluruh. Salah satu poin krusial adalah, kebijakan pidana penjara yang merekomendasikan seseorang menjadi tahanan dan napi di rutan maupun  lapas. ”Dari lebih 500 undang-undang (UU), sekitar 150 UU merekomendasikan pidana,” ujarnya. Kondisi itu diperparah kebijakan pecandu atau pemakai narkotika yang selama ini kerap dirujuk ke penjara, bukan di rehabilitasi. Padahal, para pengguna barang haram tersebut merupakan korban yang sejatinya membutuhkan perawatan kesehatan. Bukan hukuman kurungan penjara seperti yang terjadi belakangan ini. ”Malah belakangan semakin tinggi pidananya, diatas 4 tahun,” ujarnya. Belum lagi, masih banyak kepala rutan yang tidak memiliki keberanian membebaskan tersangka atau terdakwa yang lewat masa tahanan (overstaying). Penegak hukum juga belum optimal menerapkan tahanan rumah atau tahanan kota. ”Mereka (penegak hukum) cenderung menerapkan tahanan rutan,” papar pria asal Blora, Jawa Tengah ini. Selain itu, overkapasitas juga disebabkan belum optimalnya penerapan pidana alternatif. Sampai saat ini, masih banyak ditemukan kasus tindak pidana ringan (tipiring), seperti pencurian sandal, kayu, buah dan sayuran yang berujung penjara. Padahal, tindak pidana yang mereka lakukan mestinya hanya cukup dihukum kerja sosial. ”Seharusnya tidak perlu dipidana penjara,” imbuhnya. (tyo/JPK)

Sumber: