Defisit APBN Bisa Capai 1,83% Terhadap PDB
JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi tingkat defisit APBN 2018 akan berkisar pada 1,83 hingga 2 persen terhadap PDB. Angka itu lebih rendah dari target defisit APBN 2018 yang sebesar 2,19 persen terhadap PDB dan proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,12 persen terhadap PDB. "Insya Allah APBN makin baik. Ini menjadi modal yang baik untuk menghadapi 2019 terutama karena tekanan global masih berlanjut," kata Sri dalam konferensi pers di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta pada Rabu (17/10). Sri melaporkan defisit APBN 2018 hingga September 2018 adalah sebesar Rp 200,2 triliun atau setara dengan 1,35 persen terhadap PDB. Defisit itu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 272 triliun. Penerimaan negara per September 2018 telah mencapai Rp 1.312,3 triliun atau terealisasi sebesar 69,3 persen dari target. Angka itu tumbuh 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp 900,9 triliun atau 63,3 persen dari target. Kemudian, realisasi penerimaan bea cukai sebesar Rp 123,6 triliun atau 63,7 persen dari target dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sudah mencapai Rp 281,4 triliun atau 102,2 persen dari target. "Pertumbuhan penerimaan negara cukup tinggi," kata Sri. Dari sisi belanja negara, realisasi belanja tercatat telah mencapai Rp 1.512 triliun atau 68,1 persen dari pagu sebesar Rp 2.220 triliun pada 2018. Realisasi belanja pemerintah pusat adalah sebesar Rp 938,8 triliun atau 64,5 persen dari pagu. Sementara, realisasi transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp 573,8 triliun atau 74,9 persen dari pagu. Dari realisasi tersebut, pemerintah dapat menekan angka keseimbangan primer menjadi defisit Rp 2,4 triliun pada September 2018. Angka itu lebih rendah dibandingkan posisi defisit keseimbangan primer tahun lalu yang sebesar Rp 99,2 triliun. Kementerian Keuangan juga melaporkan penerimaan negara hingga September 2018 sebesar Rp1.312,3 triliun. Angka ini tercatat sekitar 69,3 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang senilai Rp1.894,7 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku senang dengan capaian ini, lantaran pertumbuhannya mencapai 19 persen dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya yakni Rp1.103 triliun. "Ini kenaikan yang cukup tinggi dan penerimaan sampai dengan 30 September sudah menunjukkan arah yang positif," papar Sri Mulyani, Rabu (17/10). Lebih lanjut, ia merinci kontribusi penerimaan negara tersebut. Pertama, penerimaan perpajakan sudah mencapai Rp1.024,5 triliun atau 63,3 persen dari target Rp1.618,1 triliun. Dengan kata lain, penerimaan perpajakan bertumbuh 16,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Penerimaan itu terdiri dari penerimaan pajak yang mencapai Rp900,9 triliun yang tumbuh 16,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan, penerimaan bea dan cukai sebesar Rp123,6 triliun yang tumbuh 14,9 persen dibanding tahun sebelumnya. "Pertumbuhan perpajakan, dari sisi pajak dan bea cukai semuanya menunjukkan pertumbuhan yang cukup sehat," papar dia. Penerimaan negara juga mencatat hasil positif dari segi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp281,4 triliun atau bertumbuh 27,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka ini sudah lebih besar 2,2 persen dari target APBN 2018 Rp275,4 triliun. Sri Mulyani mengatakan penerimaan PNBP yang melebihi target ini disebabkan faktor harga komoditas dan depresiasi nilai tukar rupiah. Dua harga komoditas yang mempengaruhi PNBP hingga kemarin adalah batu bara dan minyak dunia, yang cenderung membaik dibanding tahun sebelumnya. Jika dirinci lebih lanjut, PNBP dari Sumber Daya Alam (SDA) sudah mencapai Rp121 triliun atau 116,7 persen dibanding targetnya Rp103,7 triliun. Kinerja positif juga didapatkan dari pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp39,5 triliun atau tumbuh 17,1 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. "Tahun lalu di posisi yang sama, PNBP adalah Rp81,5 triliun, sehingga pertumbuhannya 48,5 persen. Memang PNBP akan terlihat positif di SDA karena kurs dan harga komoditas," pungkas dia.(Rep/cnn)
Sumber: