PP NO 43 Tahun 2018, Buka Peluang Oknum Aktivis Memeras
JAKARTA-Pelapor kasus korupsi akan mendapat hadiah Rp 200 juta. Iming-iming hadiah uang ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2018. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dengan tegas menolak adanya imbalan uang bagi pelaporan kasus korupsi. Efek dari PP itu, dikhawatirkan masyarakat hanya tergiur pada hadiahnya dan akan merangsang oknum-oknum untuk memeras. Kordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam siaran persnya yang diterima FIN menegaskan, aktivis anti-korupsi bersifat volunter (relawan). Sehingga pemberian imbalan akan menurunkan daya juang relawan anti-korupsi. Di sisi lain adanya imbalan uang yang besar akan memberikan peluang oknum aktivis menjadi pemeras (blackmail). "Karena adanya rangsangan imbalan sebagaimana terjadi dalam cerita film koboi. Pasal 165 KUHP menegaskan setiap warga negara untuk berkewajiban untuk melaporkan setiap kejahatan yang diketahuinya," tegasnya. "MAKI menolak adanya PP tersebut dan meminta dicabut," lanjut Boyamin. Menurutnya, desakan pencabutan PP tersebut bukan tanpa alasan. Boyamin mengatakan kondisi keuangan negara masih defisit dan beban berat untuk sebuah negara berkembang. Negara masih membutuhkan biaya untuk pembangunan yang lebih penting. "Ditambah nilai tukar dolar makin naik, sehingga penerbitan PP tersebut belum pas waktunya karena akan menambah beban keuangan negara," jelasnya. Pemerintah, lanjut Boyamin, seharusnya lebih mementingkan peningkatan kualitas aparat penegak hukum yang masih gagal dan belum mampu meningkatkan index pemberantasan korupsi. "Kami khawatir isu imbalan ini hanya dipakai untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi," ucapnya. Menurutnya, MAKI konsekuen akan menolak dana imbalan dalam bentuk apapun. Tidak akan pernah mengajukan imbalan terhadap setiap laporan korupsi yang diajukan MAKI. Lalu tidak akan pernah membuat rekening badan hukum MAKI sebagai konsekuensi untuk penerimaan imbalan. "MAKI akan dibiayai secara mandiri oleh para pendiri yang terdiri dari 9 orang dan sebagian pendiri MAKI adalah lawyer yang berkomitmen untuk tidak menangani kasus kasus korupsi," tutupnya. Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan PP 43/2018 itu menandakan adanya langkah maju dalam mengungkap tuntas kasus tindak pidana korupsi berdasarkan laporan masyarakat. "Ya, kalau sudah ada peraturan seperti itu justru langkah maju untuk lebih konkret kepada masyarakat untuk melaporkan," katanya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (10/10). Menurutnya PP itu merupakan terobosan yang sangat baik untuk memberikan peran masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. "Ya bagus dong itu, memang peran masyarakat dalam mencegah tindak pidana korupsi itu ada. Jadi masyarakat diberi peran serta untuk berpartisipasi mengungkap kasus korupsi," jelasnya. Namun, Prasetyo meningatkan kepada semua pihak agar tidak menyalahgunakan dan memanfaatkan PP tersebut untuk mencari keuntungan pribadi. "Tapi tentunya tidak harus menyalahgunakan, memanfaatkan aturan aturan seperti itu, jangan sampai memunculkan fitnah hanya untuk mengejar mendapatkan imbalan itu," tegasnya. Tak hanya itu, Prasetyo meminta masyarakat yang nantinya akan melaporkan adanya indikasi tindak pidana korupsi ke aparat penegak hukum juga didasari bukti yang kuat. Agar laporan tersebut dapat ditindak lanjuti. "Melaporkan tentunya harus sesuai dengan bukti-bukti yang lengkap, tidak sekadar hanya melaporkan tanpa bukti, itu nanti menimbulkan kegaduhan," tutupnya. Sementara, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampisus), M Adi Toegarisman mengaku siap menjalankan apa yang sudah menjadi aturan pemerintah. "Ini kan lembaga pemerintah, anggarannya yang atur pemerintah. Jadi melihat mata anggarannya juga, apa yang diturunkan oleh pemerintah kita akan ikuti," tambahnya. (lan/fin)
Sumber: