Neraca Perdagangan Masih Defisit

Neraca Perdagangan Masih Defisit

Jakarta -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$1,02 miliar secara bulanan pada Agustus 2018. Dengan demikian, defisit dalam periode tahun berjalan mencapai US$4,09 miliar pada Januari-Agustus 2018. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit perdagangan pada Agustus 2018 terjadi karena nilai ekspor hanya sebesar US$15,82 miliar atau turun 2,9 persen dari bulan sebelumnya. Sedangkan impor lebih tinggi dari ekspor, yaitu senilai US$16,84 miliar, Meski nilainya sudah merosot 7,97 persen dibandingkan Juli 2018. Begitu pula secara kumulatif Januari-Agustus 2018, nilai ekspor naik dari US$108,79 miliar menjadi US$120,1 miliar. Sementara itu, impor naik lebih tinggi mencapai 24,52 persen dari Januari-Agustus 2017 senilai US$99,73 miliar menjadi US$124,18 miliar di 2018. Penurunan ekspor terjadi karena terjadi penurunan pada ekspor migas maupun non-migas. Ekspor migas turun 3,27 persen secara bulanan dari US$1,43 miliar menjadi US$1,38 miliar. "Hal ini karena ada penurunan ekspor gas," ucap Ketjuk, sapaan akrabnya, saat konferensi pers di kantornya, Senin (17/9). Di sisi lain, ekspor non-migas turun 2,86 persen dari US$14,86 miliar menjadi US$14,43 miliar pada periode yang sama. Penurunan ekspor non-migas terbesar terjadi pada sektor pertambangan dan lainnya sebesar minus 13,58 persen menjadi US$2,35 miliar. "Sektor pertambangan turun cukup dalam secara bulanan, ini terjadi karena ada penurunan ekspor batu bara dan bijih tembaga," katanya. Dari sektor industri pengolahan turun 0,48 persen menjadi US$11,78 miliar. Namun, sektor pertanian masih tumbuh positif 0,42 persen menjadi US$300 juta. Berdasarkan negara tujuan ekspor, peningkatan ekspor terbesar terjadi ke Spanyol dengan nilai mencapai US$50,8 juta, Malaysia US$50,4 juta, dan Amerika Serikat (AS) US$38,8 juta. Sebaliknya, penurunan ekspor terjadi ke Jepang yang merosot US$108,6 juta, China turun US$83,5 juta, dan Korea tergerus US$75,3 juta. Namun, ekspor non-migas terbesar menuju China senilai US$16,6 miliar atau 15,27 persen dari total ekspor Indonesia pada bulan kemarin. Diikuti AS senilai US$11,71 miliar atau 10,78 persen dari total ekspor dan Jepang US$11,18 miliar atau 10,28 persen dari total ekspor. Sementara untuk impor, secara bulanan menurun karena ada penurunan impor hasil minyak mentah sekitar 3,2 persen. Meski, impor minyak mentah naik 6,75 persen dan gas naik 5,87 persen. Ketjuk merinci penurunan impor terjadi di semua jenis. Impor konsumsi paling tajam 9,19 persen menjadi US$1,56 miliar secara bulanan. "Ini karena ada penurunan impor buah apel, pir, cengkeh, dan lainnya," imbuhnya. Begitu pula dengan impor barang modal turun 8,98 persen menjadi US$2,62 miliar dan barang baku/penolong turun 7,6 persen menjadi US$12,66 miliar. "Penurunan impor barang baku/penolong terjadi karena ada penurunan impor emas dari Singapura, gandum, dan kapas dari AS. Sedangkan impor modal misalnya ada penurunan hard disk dari China," terangnya. Berdasarkan negara, penurunan impor tertinggi berasal dari China yang merosot US$315,2 juta, Jepang turun US$290,3 juta, dan AS menciut US$226,6 juta. Sedangkan peningkatan impor berasal dari Brazil senilai US$53,2 juta, Selandia Baru US$22,9 juta, dan India US$21,6 juta. Namun, secara keseluruhan, impor tertinggi tetap berasal dari China senilai US$28,78 miliar atau 27,56 persen dari total impor Indonesia. Diikuti dari Jepang sebesar US$11,98 miliar atau 11,47 persen dari total ekspor dan Thailand US$7,29 miliar atau 6,98 persen dari total ekspor.(cnn)

Sumber: