Bawaslu Loloskan Caleg Mantan Koruptor

Bawaslu Loloskan Caleg Mantan Koruptor

JAKARTA - KPU dan Bawaslu berkali-kali berseberangan dalam mengeluarkan keputusan. Jika diteliti, perselisihan terjadi hampir di setiap tahapan menuju Pemilu 2019. Ada kekhawatiran hal itu sebagai wujud ego sektoral. Beda sikap paling mencolok itu bisa dilihat dalam kasus mantan napi korupsi. Sejak awal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan pelaku jenis pidana itu menjadi caleg. Di sisi lain, Bawaslu menganggap larangan tersebut tidak perlu karena tidak ada dalam UU Pemilu. Beda sikap itu akhirnya benar-benar diaplikasikan dalam tahapan pemilu. KPU di tiga daerah mencoret mantan napi korupsi yang mendaftar sebagai caleg. Di luar dugaan, Bawaslu mengabulkan gugatan para mantan napi korupsi itu dan meminta KPU memasukkan mereka ke daftar calon sementara (DCS). Perinciannya, Panwaslu Aceh menerima gugatan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang maju sebagai calon anggota DPD. Hal yang sama dialami Syahrial Damapolii. Gugatan calon anggota DPD itu diterima Bawaslu Sulawesi Utara. Gugatan Joni Kornelius (JK) Tondok yang maju sebagai calon anggota DPRD Toraja Utara dari PKPI juga dikabulkan Bawaslu. KPU langsung menolak untuk melaksanakan keputusan itu karena jelas bertentangan dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta PKPU tentang Pencalonan DPD. Dalam pasal 4 ayat (3) dijelaskan, seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Di luar kasus mantan napi korupsi, masih ada keputusan dua lembaga itu yang saling berlawanan. Mulai penerapan silon (sistem informasi pencalonan) untuk parpol, kasus kampanye PSI, hingga penetapan peserta pilkada Kota Makassar. Anggota Komisi II DPR Sutriyono menyayangkan pertentangan antara KPU dan Bawaslu. Menurut dia, perselisihan semacam itu tidak seharusnya terjadi karena sama-sama berdasar aturan yang sama. “Keduanya merupakan penyelenggara pemilu. Yang paling penting bagaimana melaksanakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas,” terang dia kepada Jawa Pos kemarin. Politikus PKS tersebut mengatakan, dua lembaga itu harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan yang muncul. Jangan sampai saling mendahulukan ego sektoral. Pertemuan itu penting agar tidak ada lagi pertentangan di antara kedua pihak. “Perbedaan keputusan itu akan berpotensi mengganggu proses pemilu,’’ ujarnya. Misalnya, keputusan yang dikeluarkan Bawaslu terkait dengan mantan napi korupsi. Dengan keputusan itu, kedua lembaga sibuk berpolemik dengan kasus tersebut. Mereka bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Status bacaleg mantan napi korupsi pun tidak jelas karena KPU tidak mau melaksanakan keputusan Bawaslu. Sementara itu, anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin enggan menanggapi polemik lembaganya dengan KPU. “Masalah itu sudah masuk pokok perkara. Kami tidak bisa menanggapinya,” terangnya. Perbedaan di antara dua institusi itu, menurut dia, selama ini bisa diselesaikan dengan baik. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, perbedaan tersebut tidak sampai mengganggu jalannya pemilu. Walaupun ada perbedaan keputusan itu, proses pemilu tetap berjalan sesuai dengan tahapan yang ditentukan. Terkait dengan kasus tiga mantan napi korupsi, Bawaslu bersikukuh dengan keputusan yang dikeluarkan. KPU juga enggan menanggapi polemik dengan Bawaslu. Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menyatakan, dirinya tidak berwenang menanggapi persoalan itu. Sebab, pihaknya sudah menunjuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk memberi tanggapan terhadap persoalan tersebut. (jpg/bha)

Sumber: