6 Bulan, 30 Kasus Kekerasan Anak
SERANG - Memperingati Hari Anak Nasional, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti masih marak terjadinya kekerasan terhadap anak. Khususnya, kekerasan verbal dan psikis. “Kekerasan fisik relatif turun namun kekerasan verbal dan psikis masih sering terjadi,” ujar Ketua KPAI Susanto, Senin (23/7). Susanto mengungkapkan adanya karakteristik yang berbeda pada tren kasus yang terjadi di tahun 2018. Di mana dalam satu kasus terdapat puluhan korban kekerasan. “Satu kasus, korbannya banyak, sebut saja kasus Tangerang, 1 kasus korbannya 45, kasus Aceh korbannya 25, kasus Jambi korbannya diperkirakan 80-an,” katanya. Hari Anak Nasional ini, kata Susanto, harus menjadi momentum evaluasi dan perbaikan. “Pastikan anak terfasilitasi sesuai usianya dan jangan lemahkan mereka. Dari manapun dan kondisi apapun anak harus di-support dan dikuatkan semangatnya,” ungkapnya. Susanto pun meminta semua pihak untuk bersama-sama melakukan perlindungan terhadap anak. Tujuannya, untuk mewujudkan Indonesia yang ramah anak. Sementara berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten hingga Juli 2018 ini tercatat sebanyak 30 kasus kekerasan terjadi pada anak. Dari jumlah itu yang dominan adalah kasus kekerasan seksual, bullyi disusul hak asuh anak dan kekerasan fisik. Ketua LPA Banten Uut Lutfi mengatakan, tingginya kasus ini disebabkan pola asuh orangtua menjadi faktor penting yang mampu menangkal berbagai penyimpangan-penyimpangan perilaku anak yang negatif. Faktor lainnya adalah bebasnya penggunaan gadget dan smartphone oleh anak-anak tanpa pengawasan yang baik oleh orangtua, sehingga anak dengan segala keingintahuannya tidak mendapatkan arahan yang baik terkait penggunaan gadget tersebut. “Berbagai konten negatif dapat dengan mudah didapatkan oleh anak-anak,” ungkap Lutfi, Senin (23/7). Untuk itu kata Lutfi, pihaknya mengharapkan peran serta orangtua dalam membimbing dan menerapkan pola asuh yang baik untuk tumbuh kembang anak. Selain itu, peran serta dan pelibatan masyarakat sekitar dalam pola asuh anak juga menjadi penting. “Dalam hal kerjasama dengan pemerintah daerah, kami ingin memberikan apresiasi yang tinggi kepada aparatur desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi yang telah menjalankan perannya dalam mewujudkan Kota dan Kabupaten Layak Anak di delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten,” katanya. Selain itu, LPA berharap pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pusat rehabilitasi anak, rumah singgah dan rumah aman bagi anak. Karena akan menjadi sebuah bom waktu, apabila tanpa penanganan yang maksimal, para anak yang menjadi korban di masa depan bisa meluapkan rasa dendamnya kepada anak-anak lain. Tidak menutup kemungkinan mereka bisa menjadi pelaku di masa depan. Sebelumnya, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Banten Adde Rosi Khoerunnisa mengatakan, sebanyak 442 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Banten, sejak 2010-September 2017. “Mengingat cukup tingginya kasus kekerasan, maka P2TP2A tergerak untuk melakukan program-program, selain penanganan kasus, juga melaksanakan program yang ditujukan untuk pencegahannya,” kata Adde. Dia menyebutkan, sejak tahun 2010 sampai dengan September 2017 ini ada 442 kasus, yang terdiri dari kekerasan dalam rumah tangga 154 kasus, perlindungan/penelantaran anak 96 kasus, dan kekerasan seksual 100 kasus. Kemudian, penelantaran perempuan sebanyak 55 kasus, trafficking atau perdagangan perempuan dan anak sebanyak 18 kasus, perlindungan tenaga kerja 9 kasus, perebutan hak asuh anak 11 kasus, kekerasan fisik di bawah umur tiga kasus. “Dari jumlah kasus tersebut terdapat 182 kasus anak yang menjadi korban dan sebanyak 33 kasus adalah pelaku anak atau anak yang berhadapan dengan hukum,” ujarnya. (and/tb/ang/bha)
Sumber: