Peringatan Dini, BMKG Imbau Nelayan Tak Melaut
SERANG - Nelayan di wilayah pesisir selatan Banten diminta untuk tidak melaut sementara waktu. BMKG mengeluarkan peringatan dini soal gelombang tinggi. “Karena angin cukup kencang sehingga menimbulkan gelombang cukup tinggi. Diimbau kepada nelayan untuk sementara tidak melaut,” kata Kepala BMKG Serang, Sugarin, saat dikonfirmasi, Jumat (20/7). Akibat gelombang tinggi, pada Kamis (19/7) kemarin, KM Barokah dan kapal rombongan dari IPB Bogor tenggelam.Nelayan diimbau tak melaut karena angin di pesisir selatan khususnya Lebak dan Pandeglang mencapai kecepatan di atas 15 knot dengan potensi gelombang setinggi 4 meter. Kondisi ini diperkirakan terjadi dalam 3-4 hari ke depan. Sementara itu, Kapolsek Wanasalam AKP Jajang Adiyana mengatakan ombak di pesisir selatan masih tinggi. Nelayan di sana menurutnya tidak berani melaut apalagi ada kejadian kapal tenggelam. Terkait dua nelayan kapal KM Barokah yang hilang, pihaknya juga masih belum berani melakukan pencarian di tengah laut. BPBD bersama Basarnas menurutnya hanya melakukan pencarian di sekitar pesisir. “Ombaknya masih besar dan pencarian sementara menunggu di pesisir,” kata Jajang. Jajang mengungkapkan total ada 4 kapal yang tenggelam akibat gelombang tinggi di pesisir selatan. Selain KM Barokah dan KM Orange yang membawa rombongan IPB, ada dua kapal nelayan lain yang tenggelam. Tapi, dua kejadian tersebut tidak menimbulkan korban jiwa. Sementara Kabag Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko menjelaskan adanya gelombang tinggi di laut selatan pulau Jawa. Menurutnya Juli sampai Agustus merupakan puncak musim kemarau. “Puncak musim kemarau ditandani dengan adanya aliran masa udara dingin dari Australia,” katanya saat diwawancara kemarin (20/7). Lebih lanjut dia menjelaskan aliran masa udara dari Australia itu menyebabkan hembusan angin yang relatif cukup kencang. Kecepatannya sekitar 15 knot (27 km/jam) bahkan sampai 20 knot (36 km/jam). Kecepatan angin yang bisa mencapai 20 knot itu kemudian menciptakan gelombang laut signifikan. “Dengan ketinggian gelombang lebih dari dua meter,” jelasnya. Hary menuturkan kecepatan angin dan tinggi gelombang itu bisa juga lebih menjadi-jadi. Seperti kalau kondisi itu dibarengi dengan adanya pembentukan dan pertumbuhan awan Cb (kumulonimbus). Dari peta satelit BMKG tergambar bahwa gelombang laut mulai dari sisi barat pulau Sumatera hingga sepanjang pulau Jawa bervariasi antara 2 meter sampai 4 meter. BMKG juga membuat pengumuman waspada gelombang tinggi yang berpotensi terjadi pada 19-21 Juli. Gelombang setinggi 2,5 meter hingga 4 meter berpotensi terjadi di sebelas perairan. Seperti perairan Subang, perairan Bengkulu sampai Lampung, Samudra Hindia bagian barat Sumatra, dan selat Sunda bagian selatan. Kemudian di perairan selatan Banten dan perairan selatan Jawa hingga Sumbawa. Dengan tinggi gelombang yang bisa mencapai 4 meter, BMKG menghimbau masyarakat dan kapal-kapal, terutama perahu nelayan dan kapal berukuran kecil, supaya tidak memaksakan diri melaut. Kemudian dihimbau untuk tetap waspada dan siaga dalam melakukan aktivitas pelayaran. “Masyarakat dihimbau untuk selalu memperhatikan informasi cuaca dan gelombang dari BMKG,” pungkas Hary. Di sisi lain, pengumuman untuk kewaspadaan selama pelayaran juga dikeluarkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Direktur Jenderal Perhubungan Laut R. Agus H. Purnomo menyampaikan bahwa secara rutin Ditjen Perhubungan Laut mengeluarkan Maklumat Pelayaran atas dasar hasil pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Dalam Maklumat Pelayaran Nomor TX-02/VII/DN-18 tanggal 20 Juli 2018 disebutkan, berdasarkan hasil pemantauan BMKG diperkirakan pada tanggal 18 sampai dengan 24 Juli 2018, cuaca ekstrim dengan tinggi gelombang 4 sampai dengan 6 meter dan hujan lebat diperkirakan akan terjadi di Perairan Barat Kepulauan Mentawai, Perairan Bengkulu dan Enggano, Perairan Barat Lampung, Laut Andaman, Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa Timur, Selat Sunda Bagian Selatan, Perairan Selatan Pulau Jawa, Perairan Selatan Bali, Perairan Lombok, Perairan Pulau Sumabwa, Samudera Hindia Barat Mentawai hingga Selatan Pulau Jawa hingga Selatan Pulau Sumbawa,” katanya kemarin. Agus meminta syahbandar harus melakukan pemantauan ulang setiap hari terhadap kondisi cuaca di masing-masing lingkungan kerjanya. Informasi itupun harus disebar luaskan nakhoda kapal dan pengguna jasa. “Bila kondisi cuaca membahayakan keselamatan pelayaran maka pemberian Surat Persetujuan Berlayar (SPB) harus ditunda hingga cuaca memungkinkan untuk memberangkatkan kapal,” beber Agus. Tak hanya pelayaran penumpang, menurut Dirjen Agus, kegiatan bongkar muat barang agar diawasi secara berkala untuk memastikan kelancaran dan ketertibannya. Muatan yang naik kapal juga harus dilashing serta tidak overdraft agar stabilitas kapal tetap baik. Sementara itu, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Junaidi mengatakan bahwa nakhoda maupun pemilik kapal harus memantau cuaca sekurang-kurangnya enam jam sebelum berlayar. Selain itu harus melaporkan kondisi cuaca terkini kepada Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat setiap enam jam sekali saat berlayar. “Kami juga menginstruksikan kepada seluruh jajaran Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) dan Distrik Navigasi agar kapal negara baik kapal patroli atau kapal navigasi tetap siap siaga dan segera memberikan pertolongan terhadap kapal yang berada dalam keadaan bahaya atau kecelakaaan,” ujarnya. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan agar menetapkan instansi penanggung jawab penerbitan surat ukur, sertifikat kelaikan, dan pengawasan pada tranportasi di wilayah itu. Dia berharap agar mereka yang ditetapkan memiliki kompetensi. “Evaluasi ulang silabus pelatihan untuk awak kapal dan melakukan pelatihan kepada seluruh awak kapal untuk angkutan kapal sungai, danau, dan tradisional,” katanya dalam keterangan tertulis. Rekomendasi lainnya adalah syahbandar wajib menyampaikan segera jika ada peringatan perubahan cuaca mendadak dari BMKG. Pengumuman tersebut harus didapatkan oleh kapal yang masih bersandar ataupun yang sedang layar. “Berdasarkan temuan awal, KNKT menemukan kondisi-kondisi bahaya yang sangat signifikan pada saat operasional kapal angkutan penumpang di Danau Toba,” tuturnya. Dari rekomendasi tersebut dapat terlihat jika kecelakaan kapal dapat diminimalisir jika standar operasional dilaksanakan. Kalau tidak, maka bisa jadi masyarakat yang kembali dirugikan. Menurut pengacara yang biasa melakukan gugatan kebijakan publik David Tobing, masyarakat bisa melakukan gugatan jika ada hal-hal publik yang merugikan. “Dilihat kecelakaannya agar tahu melihat pihak mana yang bisa dimintai tanggung jawab. Baik itu dari pelaku usaha atau regulator,” tuturnya. Jika ditemukan pengawasan yang lemah atau bahkan tidak ada pengawasan sama sekali, maka regulator harus tanggung jawab. Kecelakaan di Danau Toba bisa menjadi contoh ketika Kepala Dinas Perhubungan Samosir dijadikan tersangka karena dianggap lalai dalam pengawasan. David mengatakan jika tidak hanya dikenakan hukuman pidana, namun bisa jadi hukum perdata pun diberlakukan. “Secara perdata bisa dilakukan kan itu ke instansi. Ada pasal perbuatan melawan hukum. Jadi apakah itu (gugatan, Red) penumpang atau ahli waris, bisa juga pemilik barang, dia bisa menggugat,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Sayangnya hal ini jarang dilakukan oleh korban atau keluarganya. Menurut David hal itu dikarenakan masyarakat yang takut jika berurusan dengan “penguasa”. Ada kalanya juga khawatir bisa digugat karena alasan pencermaran nama baik. “Tidak ada larangan orang menggugat demi memperjuangkan haknya. Dan tidak bisa dipidanakan karena itu,” ujarnya. Dia justru mendorong agar masyarakat aktif. Alasannya gugatan tersebut penting untuk terjadinya perbaikan. “Agar regulator yang belum melakukan pengawasan atau pengawasannya lemah mereka merubah SOP atau menjalankan SOPnya dengan baik. Kalau masih terjadi kecelakaan yang ada terbukti peran regulator misal tidak melakukan pengawasan itu terbukti mereka tidak melakukan SOP dengan baik,” ungkapnya. (jpg/bha)
Sumber: