Kemenag Tidak Lagi Urusi Rekomendasi Mubalig

Kemenag Tidak Lagi Urusi Rekomendasi Mubalig

JAKARTA – Setelah menuai banyak protes, akhirnya Kementerian Agama (Kemenag) tidak lagi mengurusi daftar rekomendasi mubalig atau penceramah. Secara tegas Menag Lukman Hakim Saifuddin menyerahkan urusan tersebut kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keputusan penyerahan urusan rekomendasi mubalig itu diambil dalam rapat kerja (Raker) bersama Komisi VIII DPR tadi malam (24/5). “Sepenuhnya sudah menjadi kewenangan MUI bersama ormas-ormas Islam,” katanya. Lukman mengatakan sudah tidak pada tempatnya bagi Kemenag untuk melanjutkan program pendataan atau rekomendasi mubalig itu. “Untuk mengeluarkan rilis berikutnya, karena kami memahami ini sekadar memfasilitasi awal mulanya, akan lebih baik diserahkan ke ormas,” tuturnya. Untuk proses penerbitan rilis daftar mubalig berikutnya, maupun menyikapi rilis 200 nama yang sudah keluar, Lukman menyampaikan sudah diserahkan sepenuhnya ke MUI. Dia berharap masyarakat supaya menunggu bagaimana MUI menyikapinya. Lukman mengakui sejak diterbitkan daftar 200 mubalig itu, langsung mendapatkan banyak tanggapan, masukan, maupun kritikan. Kemudian terkait desakan supaya Lukman meminta maaf, dia sampaikan bahwa sudah melakukannya. Secara terbuka Lukman mengatakan sudah menyampaikan permintaan maaf Senin lalu (21/5). “Saya menyampaikan maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan oleh banyak pihak. Khususnya yang berada di dalam rilis atau tidak di dalam rilis,” jelasnya. Dia menjelaskan setelah keluar 200 nama itu, ada ormas secara tertulis menyampaikan permintaan supaya daftar mubalig mereka dimasukkan dalam daftar berikutnya. Namun Lukman menegaskan bahwa urusan rekomendasi atau pendataan mubalig itu sudah sepenuhnya menjadi kewenangan MUI. Dalam rapat dengan Komisi VIII itu, hampir semua anggota dewan yang menyampaikan padangannya, ingin daftar 200 mubalig untuk ditarik. “Terkait keluarnya daftar mubalig itu, di Jawa Barat spanduk ganti presiden semakin banyak. Tapi pada prinsipnya saya sedih dan prihatin,” katanya Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mudjahid. Sodik menjelaskan dari sisi momentum, penerbitan nama mubalig oleh Kemenag itu tidak tepat. Sebab baru saja umat Islam terluka dan tersudutkan oleh aksi terorisme di sejumlah tempat. Dia menegaskan jangan ada pembatasan bagi mubalig. “Jangan ada pembatasan dakwah. Jangan ada pembatasan kritis kepada pemerintah,” katanya. Selama yang disampaikan tidak mengarah pada radikalisme dan tetap menjunjung Pancasila serta NKRI, Sodik mengatakan tidak boleh ada pembatasan berbicara atau berdakwah. Politisi Gerindra itu menegaskan sebaiknya pendataan atau rekomendasi mubalig dihentikan saja. Sebab baginya mengurangi daftar yang sudah terlanjut keluar, maupun membuat daftar baru, sama-sama tidak menyelesaikan masalah. Dia bersyukur akhirnya Kemenag menyerahkan urusan ini kepada MUI. Sodik berharap setelah ini tidak ada polemik lagi di masyarakat. Anggota Komisi VIII Yandri Susanto juga meminta supaya program rilis rekomendasi mubalig oleh Kemenag tidak diteruskan lagi. Kalau diteruskan, dia khawatir bakal menimbulkan kelas-kelas di internal mubalig. Misalnya nama yang lebih dulu keluar, adalah Mubalig lebih bagus dibanding nama yang keluar berikutnya. “Jadi saran saya jangan diteruskan,” jelasnya. Apalagi dia mengatakan di lapangan banyak ulama, penceramah, atau mubalig yang memilih namanya tidak muncul. Terkait kekhawatiran adal mubalig yang ceramahnya tidak benar atau mengarah pada intoleransi atau radikalisme, obatnya bukan dengan rilis Kemenag. Melainkan cukup dengan tindakat tegas dari polisi. Guru Besar Ilmu Dakwah dari UIN Syarif Hidayatullah Asep Usman Ibrahim mengungkapkan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang da’i profesional. Yang pertama soal basis kompetensi. Seorang mubaligh harus memiliki pendidikan keislaman yang mumpuni. Pemerintah pun harus memetakan mubaligh tersebut. Minimal dia harus memiliki background pendidikan keislaman, sekolah islam, perguruan tinggi islam, ataupun Pesantren. Sehingga tidak bisa sembarang orang mendeklarasikan diri sebagai seorang mubaligh. “Kenyataan di masyarakat sekarang mudah sekali jadi mubaligh tanpa pendidikan,” katanya pada Jawa Pos kemarin (24/5). Seorang mubaligh profesional, kata Asep, harus menjalankan 3 fungsi utama, yakni tabligh, atau penyampaian, dan penyebarluasan pesan keagamaan kepada masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan buruk. Kemudian fungsi yang kedua adalah dakwah. atau mengajak. Artinya mubaligh harus bisa mengarahkan masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Fungsi ketiga adalah Irsyad, atau bimbingan. Artinya mubaligh harus bisa menjadi mentor yang baik dalam upaya audiensnya meniti jalan kebenaran. Sebenarnya kata Asep, Kementerian Agama (Kemenag) telah memiliki para penyuluh agama islam dibawah Ditjen Bimas Islam. Mereka prefesional, ada  yang PNS dan digaji oleh negara. Seharusnya kata Asep, para penyuluh ekagamaan itulah yang menjadi ujung tombak dakwah pada masyarakat. Selain itu, Asep berharap agar Kemenag dan MUI untuk melibatkan perguruan tinggi islam dalam perumusan kompetensi da’i profesional. “Di kampus islam itu ada Fakultas Dakwah, harus dilibatkan oleh Kemenag,” pungkasnya. (jpg/bha)

Sumber: