UN Dikaji Kembali Jadi Penentu Kelulusan
JAKARTA – Di balik berturut merosotnya rata-rata nilai ujian nasional (UN), tahun ini dan tahun lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan sejumlah evaluasi. Diantara opsi yang tengah dikaji adalah mengembalikan nilai UN sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Mendikbud Muhadjir Effendy mengakui, tidak dijadikannya nilai UN sebagai syarat kelulusan berdampak secara psikologis siswa. Di mana etos siswa untuk belajar menurun. “Salah satunya mungkin itu. Motivasi siswa, motivasinya tidak terlalu serius,” ujarnya di komplek Istana Negara, Jakarta, kemarin (4/5). Oleh karenanya, dia memastikan posisi unas yang tidak lagi jadi penentu kelulusan menjadi salah satu aspek yang dievaluasi. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu pun tak membantah soal peluang kembalinya nilai UN sebagai syarat kelulusan. “Itu kita evaluasi nanti. Bisa saja (jadi syarat),” imbuhnya. Meski demikian, Muhadjir menuturkan, penurunan nilai UN tidak semata-mata karena itu. Menurut dia, ada juga penyebab lainnya. Yakni kualitas soal yang diubah jadi standar higher order thinking skills (HOTS) dan perubahan metode ujian dari kertas ke komputer. Untuk perubahan ke komputer, kata Muhadjir, tahun ini perubahannya cukup signifikan. Di mana hampir 50 persen SMA/SMK baru memulai adaptasi tahun ini. Terbukti, nilai sekolah yang mengalami penurunan adalah sekolah yang catatan integritasnya kurang baik dan memulai memakai UNBK. “Tapi untuk sekolah yang kemarin (tahun lalu) sudah gunakan UNBK kecenderungan naik (nilainya),” tuturnya. Keputusan Kemendikbud mengkaji posisi nilai UN tersebut mendapat beragam respon. Guru besar Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab mengatakan memang sebaiknya nilai unas kembali menjadi bagian penentu kelulusan. “Berapapun porsinya atau bobotnya. Yang penting nilai unas ada kaitannya dengan penentu siswa lulus atau tidak lulus,’’ jelasnya. Dengan demikian dalam menyambut UN, siswa memiliki usaha atau effort yang lebih besar. Dibandingkan dengan saat ini dimana nilai UN tidak memiliki kaitan dengan kelulusan. Ditambah lagi nilai unas juga tidak dijadikan pertimbangan dalam penentuan kelulusan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN). Rochmat mengingatkan supaya Kemendikbud segera memutuskan kebijakan UN. Termasuk dalam menetapkan jadwal pelaksanaan UN tahun depan. Supaya siswa memiliki persiapan dan sekolah dapat merancang kalender akademik dengan baik. “Selama ini jadwal UN ditetapkan akhir tahun. Menunggu anggaran ditetapkan,’’ jelasnya. Dia menegaskan unas adalah agenda akademik, tanpa perlu menunggu kebijakan birokrasi anggaran negara. Sekjen Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI) Heru Purnomo menentang kajian pemerintah yang berpeluang menyimpulkan nilai UN jadi penentu kelulusan siswa. “Kami FSGI dari dulu menetang pelaksanaan UN. Baik sebagai syarat penentu jkelulusan maupun sebagai standarisasi,” ujarnya. Dia menjelaskan jika sebelumnya FSGI menggugat pelaksanaan UN di Mahkamah Agung dan menang. “Jika dijadikan sebagai penentu kelulusan ya langkah mundur jauh,” imbuh Heru. Lebih lanjut terkait menurunnya nilai UN, Heru mengatakan jika permasalahan terbesar UN di Indonesia adalah pendidikan yang tidak merata. Salah satunya adalah belum seluruh guru siap mengajarkan materi UN yang berkonten higher order thinking skill (HOTS). “Karena HOTS ada dalam kurikulum 13. Sedangkan di KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Red) belum ada,” tuturnya kemarin. Menurut Heru siswa belum terbiasa bernalar HOTS dalam pembelajaran. Hal ini memberikan kesan konten HOTS dalam UN dipaksakan. “Sehingga turun nilai UNBK 2018,” ucapnya. Rektor sekaligus guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan (FKIP) Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat mengatakan secara khusus tentu perlu dilakukan penelitian untuk mencari penyebab penurunan nilai UN. Namun dia mengatakan kualitas guru bisa jadi menjadi salah satu pemicunya. “Saat ini masih banyak guru yang belum berijazah S1,” katanya di kampus UT kemarin. Padahal di dalam Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan bahwa guru minimal berijazah S1 atau D-IV. Setiap penerimaan mahasiswa baru, UT bisa menampung hingga 50 ribuan guru tapi belum bergelar sarjana. Kebanyakan guru-guru yang mendaftar di UT itu berstatus guru honorer atau swasta. Ada juga guru berstatus PNS namun belum S1. Ojat mengatakan tidak bisa mengukur seperti apa kualitas guru-guru yang masuk ke UT. “Semua bisa masuk. Yang penting berijazah terakhir SMA dan berstatus guru,’’ jelasnya. Dia mengatakan UT menjadi rujukan para guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik karena membuka kelas jauh. Sehingga guru-guru tersebut tidak perlu datang ke kampus UT di Kota Tangsel. Selain itu para guru tersebut tidak perlu meninggalkan muridnya di sekolah. Meskipun pembelajaran dilakukan secara jauh, Ojat mengatakan mereka tetap menjaga kualitas. Bahkan ada guru-guru mahasiswa UT yang tidak bisa mengikuti ritme atau budaya kuliah jarak jauh, akhirnya memilih putus atau drop out. Dia mengatakan guru harus memiliki kemauan dan semangat untuk terus belajar. Khususnya belajar sendiri, tanpa harus ada pendampingan dari dosen, untuk meningkatkan kompetensinya. “Kelas jauh yang full online, mereka belajarnya sendirian tidak ada tatap muka,’’ tuturnya. (jpg/bha)
Sumber: