Hasil Pungli Lebih Dari Rp 2 Triliun
JAKARTA - Uang pungutan liar (pungli) di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, Samarinda, Kaltim, yang berhasil diungkap ternyata membengkak. Teranyar, angka yang diperkirakan penyidik Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Tipideksus), Bareskrim, Mabes Polri, mencapai lebih dari Rp 2 triliun. Duit sebesar itu ditengarai dikumpulkan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Samudera Sejahtera (Komura) dari 2010 hingga 2016 dari dua tempat, yakni TPK Palaran Samarinda dan Pelabuhan Muara Berau. Direktur Tipideksus, Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya, merinci sejak 2010-2016 di TPK Palaran, duit pungli yang didapat Komura mencapai Rp 180 miliar. Duit itu diduga hasil pemerasan yang dilakukan oknum pengurus koperasi, yakni dengan meminta tarif TKBM kepada PT Pelabuhan Samudera Palaran (PSP) sebagai pengelola dan operator pelabuhan, namun tidak melakukan aktivitas bongkar muat sebagaimana mestinya. “Rp 180 miliar itu hanya di TPK Palaran, belum di Pelabuhan Muara Berau,” ujar Agung Setya kemarin (14/4). Disebutkannya, untuk praktik pungli di Pelabuhan Muara Berau, penyidik telah melakukan pemeriksaan kepada sembilan perusahaan bongkar muat (PBM) yang beroperasi di kawasan tersebut. Dari proses pemeriksaan, diketahui juga sejak 2010 hingga 2016, terdapat aliran dana yang sangat besar kepada Komura dari sembilan PBM. Sehingga, jika ditotal dananya lebih dari Rp 2 triliun. “Seluruh dana itu didapat secara melawan hukum. PBM keberatan dengan tarif yang diminta Komura,” sebutnya. Dijelaskannya, alasan Komura, pungutan yang ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan tidak benar. Sebab, berdasarkan keterangan sejumlah pihak, soal besaran tarif yang ditetapkan, tidak menandatangani kesepakatan tersebut. Adapun pihak yang ikut tanda tangan karena dipaksa oleh petinggi Komura. “Jadi, kesepakatan yang disebut Komura itu cacat hukum,” lanjut dia. “Saat ini, penyidik masih terus melakukan penelusuran terhadap harta milik pengurus Komura. Kami usut sampai tuntas,” jelasnya. Terpisah, Sutrisno, kuasa hukum yang ditunjuk Komura, menyebut dirinya tidak tahu-menahu soal pungutan liar yang sudah terjadi sejak 2010 tersebut. "Saya memang kuasa hukumnya, kalau soal itu saya tidak komentar, deh," ujar Sutrisno. Begitu pula saat Kaltim Post (Jawa Pos Group) berusaha mencari kabar terkait sembilan perusahaan yang bergerak di dunia pertambangan. "Saya tidak tahu," ujarnya berulang kali. Demikian dengan pungutan bukan berdasarkan kesepakatan. Sutrisno memilih mengakhiri percakapan dengan alasan ada pertemuan khusus dengan orang lain yang tidak bisa diganggu. "Nanti saya kabari," tuturnya, tadi malam. Sebelumnya, Kaltim Post telah menghimpun sejumlah data berkaitan barang bukti yang dikumpulkan dari kasus yang terungkap sejak 17 Maret itu. Yakni awalnya tim Saber Pungli mengamankan uang Rp 5 juta di TPK Palaran pada Jumat (17/3). Uang itu diduga hasil pungutan liar oleh TKBM Komura. Operasi dilanjutkan ke Kantor Komura di Jalan Yos Sudarso, Samarinda. Di sana, ditemukan lagi uang Rp 6,1 miliar. Uang yang sudah diikat sedemikian rupa dan ditaruh di dalam kardus dan kantong plastik itu diamankan tim Saber Pungli. Terlihat uang yang dominan pecahan Rp 100 ribu memenuhi empat kardus. Dalam operasi tersebut, Dwi Hadi Winarno ditetapkan sebagai tersangka. Pada 1 April, penyidik memblokir dana Rp 326 miliar di deposito terkait pungli di TPK Palaran,, Samarinda. Penyidik menemukan beberapa dokumen penempatan deposito di berbagai bank dengan nilai deposito yang bervariasi antara Rp 5 miliar hingga Rp 20 miliar. Dua hari kemudian, ditemukan kembali sebuah deposito yang nilainya sangat fantastis; Rp 700 miliar. Semua uang tersebut diakuinya sebagai aset Komura sejak lama. Setiap penggantian kepengurusan, ada aset yang diserahkan kepada pengurus baru. Ditambah keuntungan selama ini, itulah jumlah aset deposito Komura. Selain uang, sejumlah barang bergerak dan tidak bergerak juga disita. Diduga berkaitan dengan praktik pungli , yakni pada 13 April, penyidik Bareskrim Mabes Polri menyita sejumlah harta bergerak milik tersangka Dwi Hari Winarno, sekretaris Komura di kediamannya Jalan Harun Nafsi, Samarinda Seberang. Adapun aset yang disita dengan kisaran harga, yakni Honda Jazz RS Rp 160 juta, Mini Cooper S Rp 850 juta, BMW 320i Rp 619 juta, BMW 328i Rp 749 juta, dan Toyota Land Cruiser Rp 370 juta (harga perkiraan tahun beli pada 2003). Ada juga tiga motor trail @ Rp 25 juta (Rp 75 juta), Yamaha Vixion Rp 21 juta, Yamaha N-Max Rp 32 juta. Total kisaran nilai aset bergerak Rp 2,8 miliar. Esoknya, penyidik menyita, rumah berlantai tiga di Jalan Harun Nafsi, Samarinda Seberang, sebidang tanah seluas lebih 1 hektare di kawasan Kilometer 5 Loa Janan Ilir, rumah di Kompleks Komura (Samarinda Seberang), dan sebidang tanah di Jalan HAMM Riffadin. Kombes Pol Hengky Haryadi, Kasubdit I Tipideksus Bareskrim Polri, sebelumnya menegaskan, selama dua hari, pada 13 dan 14 April, polisi tak hanya menyita sejumlah harga. Mereka juga mengumpulkan berkas dari kediaman Jafar Abdul Gaffar, yang disambangi pada 14 April. “Sejumlah tempat sudah disita dan digeledah,” ujar Hengky dua hari lalu. Dalam kasus ini, dua orang pengurus TKBM Komura menjadi tersangka, yaitu Ketua Komura Jafar Abdul Gaffar dan sekretarisnya, Dwi Hadi Winarno. Tersangka lain, Hery Susanto, ketua Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB) dan Nur Asriansyah, sekretaris PDIB. Ditetapkan tersangka, Jafar melawan. Tak hanya mengadu kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenkopolhukam), secara resmi juga mendaftarkan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan pihak termohon Bareskrim Polri. Praperadilan diajukan karena Jafar merasa penetapan dirinya sebagai salah satu tersangka kasus megapungli di Pelabuhan Palaran, Samarinda, oleh Bareskrim pada 4 April 2017, sangat dipaksakan. "Menurut kami, itu bukan kasus OTT (operasi tangkap tangan) sebab belum cukup bukti," ucap pengacara Jafar, Apolos Djarabango, Kamis (13/4).(*him/*/dra/far/k11)
Sumber: