27 Merek Sarden Positif Cacingan
SERANG – Uji laboratorium 66 sampel merek sarden selesai dilakukan. Hasilnya, sebanyak 27 merek sarden positif mengandung cacing parasit. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memutuskan menarik ke-27 merek sarden itu dari pasaran. Sampel sarden yang positif mengandung cacing parasit itu juga didapat dari sejumlah pasar dan toko di wilayah Banten. Dalam pemeriksaannya, BPOM melakukan sampling terhadap 66 merek sarden makarel dalam kemasan kaleng dengan 541 sampel ikan. BPOM merilis merek sarden yang positif mengandung cacing parasit tersebut antara lain ABC, ABT, Ayam Brand, Botan, CIP, Dongwon, Dr Fish, dan Farmer Jack. Kemudian makarel kaleng Fiesta seafood, Gaga, Hoki, Hosen, IO, Jojo, King Fisher, LSC, Maya, Nago atau Nagos, Naraya, Pesca, Poh Sung, Pronas, Ranesa, S&W, Sempio, TLC serta makarel kaleng TSC. Kepala BPOM Serang Alex Sandro mengatakan dalam waktu dekat pihaknya bakal melakukan penarikan produk terhadap 27 merek dengan 138 batch (penomoran dan huruf penandaan) sarden dalam kemasan kaleng di Banten. Langkah tersebut merupakan tindak lanjut hasil pengembangan yang telah dirilis BPOM RI beberapa waktu lalu. “BPOM Serang besok (hari ini-red) bersama lintas sektor lainnya akan menertibkan 27 item produk ikan makarel 138 batch yang masih beredar,” kata Alex, Minggu (1/4). Adapun bentuk penertiban yang dimaksud, dijelaskan Alex, adalah dengan melakukan penarikan. Meski begitu, dia belum bisa merinci langkah penertiban apa saja yang akan dilakukan hari ini. “Yang pasti apabila ditemukan sesuai batch akan ditarik. Besok (hari ini-red) kita kabari. Kita persiapkan dulu timnya,” jelasnya. Ia mengimbau, kepada pelaku usaha untuk tidak lagi menjual 27 merek dengan 138 batch sarden dalam kemasan kaleng seperti yang telah dirilis BPOM. “Mereka diharapkan tidak lagi mendisplay produk tersebut. Kepada masyarakat supaya tidak menjual dan dikembalikan ke distributor untuk dimusnahkan,” ujarnya. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten Babar Soeharso mengatakan, pihaknya akan membantu BPOM untuk menarik produk serden dalam kemasan kaleng yang mengandung cacing parasit. Apalagi sebelumnya Disperindag sudah terlebih dahulu melakukan sampling ke sejumlah daerah di Banten. “Kalau laporan ada, sudah kami tindaklanjuti. Di Banten ini saya kira kemungkinan sudah beredar merata, makanya kemarin kita sampling semua wilayah. Kalau memang terbukti kita perintahkan untuk ditarik peredarannya,” kata Babar. Di bagian lain, Menteri Kesehatan Nila Faried Moeloek mengingatkan masyarakat agar bisa menjaga sterilisasi makanan. Pernyataan Nila ini sekaligus menanggapi hebohnya isu sarden kaleng bercacing. Menkes Nila mengatakan, cacing sebenarnya mengandung protein tidak membahayakan. Sementara parasit harus dihindari, karena memicu sejumlah penyakit yang bisa menyerang sistem pencernaan. "Setahu saya itu (sarden kalengan-red) kan enggak dimakan mentah, kita goreng lagi, ya cacingnya mati. Saya kira kalau sudah dimasak jadi steril,” ujarnya, dikutip situs resmi Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan. Terlepas dari makanan kaleng, Nila mengingatkan kepada semua masyarakat agar bisa menjaga makanan agar tetap steril. “Anda harus paham dan mengerti bagaimana mengolah, menyajikan dan mengonsumsi makanan. Apalagi, kalau makan ikan harus dimasak dengan benar supaya tidak menularkan parasit,” katanya. Khusus untuk ikan, Nila juga menyarankan memilih jenis produk segar daripada yang sudah dikemas dalam kaleng. Selain itu, proses memasak pun harus tepat supaya nutrisi tidak hilang dan bebas parasit. “Sterilitas itu yang harus dijaga,” tambah Nila. Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan cacing itu bisa memicu penyakit Anisakiasis pada manusia. Anisakiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh larva cacing yang ada dalam usus, perut atau kerongkongan. Produsen dan importir diminta untuk lebih waspada soal higinitas. Ari menjelaskan nama parasit cacing yang ada di dalam ikan makarel itu adalah Anisakis. “Nama penyakitnya (pada manusia, red) anisakiasis,” katanya akhir pekan kemarin. Dia mengatakan penyakit anisakiasis terjadi ketika larva cacing tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan menempel di dalam lambung. Keluhan yang bisa muncul pada penderita penyakit anisakiasis adalah nyeri perut, mual, muntah, kembung, diare disertai darah, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Wakil Ketua I Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PB Papdi) itu mengatakan penyakit anisakiasis sering terjadi di Jepang. Sebab di negeri sakura itu terbiasa memakan ikan laut mentah atau setengah matang. Yang tidak menutup kemungkinan di dalam ikan mentah atau setengah matang itu ada larva cacing Anisakis. “Di Amerika (kasus penyakit Anisakiasis, red) juga meningkat karena ada trend (konsumsi, red) daging mentah,” jelasnya. Ari menjelaskan larva atau cacing di dalam olahan ikan makarel itu berbahaya ketika masuk ke dalam tubuh manusia dalam keadaan hidup. Tetapi jika penyajian olahan makarel itu dimasakah sampai suhi 100 derajat, bisa dipastikan larva atau cacing Anisakis sudah mati kepanasan. Dia menegaskan cacing Anisakis itu bukan seperti cacing pita atau cacing tambang yang bisa hidup dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Ari mengatakan cacing Anisakis tidak bisa bertelur di tubuh manusia. Meskipun cacing dipastikan mati ketka olahan makarel dimasak di suhu 100 derajat, Ari mengatakan aturan normatifnya tidak boleh ada parasit di dalam makanan. “Tidak boleh ada larva. Berarti ini terkontaminasi,” kata dia. Untuk itu dia mendukung kebijakan BPOM supaya produk makarel yang positif mengandung cacing itu ditarik. Ari juga mengatakan cacing memang memiliki kandungan protein. Pada orang tertentu, protein di cacing bisa memicu alergi. Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standar Nasional (BSN) Wahyu Purbowastio menilai telah terjadi pelanggaran ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk sarden dan makarel dalam kemasan kaleng. Di dalam poin sembilan ketentuan SNI untuk produk sarden dan makarel dalam kemasan kaleng dinyatakan bahwa produk akhir harus bebas dari benda asing yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Kemudian produk akhir harus bebas dari cemaran mikroba atau substansi asli dari mikroba yang dapat membahayakan kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Jika mengacu pada klausul sembilan, seharusnya tidak ada dan tidak diperbolehkan adanya cacing dalam produk tersebut,” kata Wahyu. Terkait pelanggaran ketentuan SNI tersebut, Wahyu mengatakan produsen olahan makarel kaleng yang sudah mendapatkan SNI, akan dicabut SNI-nya. Selain itu lembaga sertifikasi produk yang bertanggung jawab juga bisa dikenai sanksi pencabutan akreditasinya. Sanksi ini menunggu hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Terkait kasus munculnya cacing di dalam olahan ikan makarel, Wahyu mengatakan dalam waktu dekat dilakukan revisi petunjuk teknis (juknis) ketentuan wajib SNI untuk olahan sarden dan makarel kaleng. Diantara klausul baru yang akan dimasukkan adalah bahan baku tidak boleh mengandung cacing atau larva cacing. Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) Ady Surya menyayangkan statemen yang dirilis oleh BPOM. Menurutnya, langkah BPOM tidak mempedulikan dampak terhadap dunia usaha. Sejak kemarin (30/3), kata Ady, hampir seluruh pabrik pengalengan di seluruh Jawa dan Bali telah menghentikan produksinya. Ribuan karyawan juga terpaksa dirumahkan. Para pemilik pabrik pengalengan, kata Ady tidak mau mengambil risiko dengan terus berproduksi. Sebab semua produk ikan kaleng baik makarel, sarden, maupun tuna di tingkatan ritel telah ditarik. “Meskipun kami produksi percuma nggak ada yang mau beli,” katanya. Rilis BPOM kata Ady merupakan pukulan telak bagi seluruh industri pengalengan ikan. Di Banyuwangi, 10 pabrik berhenti beroperasi, di Bali 7 pabrik, serta masing-masing 1 pabrik di Pekalongan dan Pasuruan. Padahal, kata Ady, anggota APIKI telah menerapkan standar keamanan konsumsi yang tinggi dalam pengolahan ikan kaleng. Seluruh produk diwajibkan untuk menerapkan standar SNI. Standar pengolahan dari Kementarian Kelautan dan Perikanan (KKP), label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta berbagai standar dari International Standard Organization (ISO). (tb/bha/jpg)
Sumber: