Berbisnis Batik Sambil Kampanye Hutan Mangrove

Berbisnis Batik Sambil Kampanye Hutan Mangrove

JAKARTA - Sasi Syifaurohmi, anak muda asal Semarang, Jawa Tengah berhasil memanfaatkan limbah pohon bakau, yakni bagian buahnya sebagai pewarna alami batik. Dengan mengusung merek Batikque Mangrove, ia dibantu oleh kedua orangtuanya mulai memproduksi batik mangrove sejak 2013. Proses memanfaatkan buah bakau/mangrove menjadi pewarna alami batik tak sebentar. Sasi memerlukan waktu setahun untuk melakukan riset dan observasi tentang jenis buah mangrove apa yang cocok digunakan sebagai pewarna batik. "Tak semua buah mangrove bisa dipakai. Yang saya pakai ini jenis Rhizophora Apiculata," jelasnya. Lantaran memakai buah yang berjatuhan, Sasi bekerjasama dengan nelayan untuk mengumpulkan buahnya. Satu kilogram (kg) buah mangrove dibeli Sasi dengan harga Rp 10.000. Buah mangrove yang sudah terkumpul, nantinya direbus dan air rebusan itulah yang digunakan sebagai bahan pewarna alami batik. Kain yang sudah digambari motif dengan malam/ lilin dicelupkan ke air rebusan tersebut. Jika sudah dicelupkan, kain tersebut akan berwarna cokelat. Batikque Mangrove menjual batik mangrove dengan aneka motif, ada batik cap dan batik tulis. Untuk harga batik mangrove motif cap mulai Rp 250.000 per lembar. Sedangkan untuk batik mangrove motif tulis Rp 450.000 sampai jutaan rupiah per lembar. Sasi mengatakan antusias masyarakat terhadap batik mangrove tergolong lumayan. Dalam sebulan, ia bisa mengantongi omzet rata-rata Rp 10 juta. Pelanggan Batikque Mangrove datang dari berbagai kota di sekitar Jawa Tengah, Jakarta, Surabaya, Solo, Yogja, Medan dan kota besar lainnya. "Saat ini, saya belum terlalu mengejar omzet, masih gencar mengenalkan soal batik mangrove itu sendiri," ucapnya. Ia lanjut menjelaskan, dengan membeli batik mangrove, masyarakat tidak hanya sekadar membeli selembar kain batik, tetapi juga ikut menjaga ekosistem hutan bakau, menghidupi para nelayan di sekitar hutan bakau dan yang tak kalah penting turut menjaga kelestarian lingkungan hutan bakau. Ke depannya, Sasi berencana untuk lebih menggencarkan pemasaran lewat online dan menambah sumber daya manusia (SDM), yakni tenaga pembatik. Ia mengaku selama ini cukup kewalahan menerima pesanan. Saat ini, sudah ada tiga tenaga pembatik tetap dan sekitar 37 pembatik honorer. Perempuan 24 tahun ini berharap bisa menambah tenaga pembatik, karena di Semarang cukup sulit. Namun, tak hanya gencar sosialisasi soal hutan mangrove, Sasi juga gencar mengadakan pelatihan batik dan memberdayakan ibu rumah tangga di sekitar lingkungan rumahnya. (ktn)

Sumber: