Dahlan: Kemakmuran Butuh Stabilitas yang Panjang
JAKARTA – Persoalan kebangsaan didiskusikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Institut Lembang Sembilan (ILS), kemarin (26/2). Mulai dari demokrasi, kemajuan negara, hingga kesenjangan ekonomi. Tokoh-tokoh dengan bermacam latar belakang dihadirkan, diantaranya mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pengamat politik Prof Indria Samego, dan mantan Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijatno. Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir membuka Rapimnas tersebut. “ILS itu diperuntukan untuk pemikiran dan dapat mengundang tokoh-tokoh semacam lembaga penelitian dan lebih menghasilkan kepada masyarakat,” kata JK. Dahlan, misalnya, berangkat dari tesis suatu kemajuan atau kemakmuran itu memerlukan stabilitas yang panjang. Dia membandingkan kondisi Majapahit, orde baru, dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun. Tidak ada kemajuan yang berarti bila tidak pernah stabil dalam kurun panjang. “Inilah yang menyebabkan, evaluasi dari masyarakat apakah cukup seorang presiden lima tahun. Lima tahun itupun tidak pernah stabil, usrek saja. Apakah seperti ini akan membawa kemajuan?” kata Dahlan. Sebagai pembanding, Dahlan menjelaskan kondisi Tiongkok yang hendak mencabut pembatasan dua periode seorang presiden. Rencana tersebut sudah resmi diajukan dan dia yakin akan bisa disetujui dalam sistem politik Tiongkok yang satu komando. Kebutuhan pada stabilitas yang panjang itu berkaitan dengan target besar Tiongkok untuk menjadi raksasa ekonomi pada 2030 mengungguli Amerika Serikat. “Ini cita-cita berikutnya mengalahkan Amerika. Itu tidak mungkin tercapai kalau tidak ada stabiltias yang panjang,” imbuh dia. Sedangkan kondisi di Indonesia, hampir tiap lima tahun terjadi kisruh politik. Pada tahun pertama pemerintahan disibukkan dengan masalah kabinet. Sedangkan dua tahun terakhir pemerintahan sudah disibukkan untuk persiapan periode selanjutnya. “Sehingga kapan kesempatan untuk bisa mengejar suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” tambah dia. Selain itu, perlu pula membuat target-target yang lebih konkrit untuk mengukur kemajuan bersama. Misalnya disepakati bersama target pendapatan perkapita USD 9 ribu pertahun dengan indeks GINI ratio tertentu. Target terukur itu diturunkan dalam program-program prioritas pemerintah di tiap kementerian. “Termasuk juga sebaiknya ditetapkan tahun berapa hanya boleh ada orang miskin berapa,” kata Dahlan mencontohkan. Sementara itu, pengamat politik Prof Indria Samego menuturkan demokrasi tanpa kemakmuran atau kesejahteraan memang akan menimbulkan berbagai macam anomali. Misalnya orang yang kalah dalam kontestasi pemilihan umum atau pilkada membuat kegaduhan yang merusak. Termasuk pula kemenangan yang diperoleh dengan uang politik. “Kalau masyarakat di negara maju tidak perlu itu suap. Karena ada negara yang memberikan jaminan sosial,” ungkap dia. Ketua Umum Institut Lembang Sembilan Alwi Hamu mengungkapkan lembaga yang didirikan pada 2003 itu telah melakukan banyak diskusi untuk memecahkan persoalan bangsa. Mulai dari sektor pariwisata, listrik, konstruksi, hingga kemaritiman. Hasil kajian tersebut diserahkan kepada kementerian atau lembaga terkait. “Semua berkumpul di sini untuk satukan sikap. Menyatukan diri untuk menghadapi bagaimana kita berperan di dalam menumbuhkan bangsa ini,” ungkap Alwi. (jpg/bha)
Sumber: