Seperti Teror 98, Targetnya Tokoh Bersuara Kuat
TIGARAKSA-Ancaman penyerangan terhadap pemuka agama telah meluas ke sejumlah daerah di Indonesia. Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tangerang mengidentifikasi ancaman penyerangan tersebut baru sebatas perencanaan gagal dari pelaku yang kemudian cepat dicegah dan pelakunya diamankan kepolisian. Kepala Kantor Kesbangpol Kabupaten Tangerang Ahmad Hidayat menjelaskan, kasus ancaman terhadap ulama pernah terjadi di sebuah pondok pesantren di wilayah Kabupaten Tangerang. Ia enggan menyebutkan identitas ulama dan pondok pesantren tersebut untuk menjaga stabilitas dan ketenangan masyarakat. “Laporan itu ada, informasi itu ada, hanya oleh kami tidak akan diangkat ke permukaan. Tapi sebatas ancaman, cepat dicegah. Kami tidak bisa menyebutkan detail kasusnya, khawatir akan menjadi polemik di masyarakat," ujarnya. Menurut Hidayat, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan kepolisian, TNI dan tokoh masyarakat mewaspadai ancaman terhadap ulama. Dia berencana minggu depan akan mengadakan rapat dengan lintas instansi dan seluruh elemen masyarakat membahas penanganan ancaman terhadap ulama. “Ancaman terhadap ulama tetap menjadi perhatian kita, itu tidak boleh diabaikan,” ujarnya. Lebih jauh Hidayat menerangkan, hingga saat ini pihaknya terus menajamkan peran intelijen dalam memantau dan memonitoring ancaman-ancaman yang suatu saat dapat terjadi terhadap ulama. Sebab sambungnya, hingga kini Kementerian Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) belum dapat menyimpulkan ancaman terhadap ulama datang dari pihak mana dan dikendalikan oleh siapa. Pakar Sejarah Nusantara Agus Sunyoto memandang bahwa gangguan yang terjadi pada pesantren dan kiai beberapa hari terakhir sama polanya dengan teror pada kiai pada tahun 1998. Menjelang lengsernya orde baru. Saat ini, kata Agus, akses informasi sudah sangat luas. Sehingga serangan dan gangguan tersebut sangat mudah terdeteksi. “Kalau yang 98 itu profesional, kalau yang ini nggak cerdas,” katanya pada Jawa Pos kemarin (22/2). Dalam ilmu intelijen, kata Agus dikenal rumus dasar bahwa sekali atau dua kali kejadian bisa dikatakan kebetulan, tapi jika sudah tiga kali, maka insiden tersebut sudah merupakan kesengajaan (by design). “Nggak mungkin peristiwa terjadi begitu saja, ini polanya sama (dengan 98,Red),” kata Agus. Pengasuh Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin Malang ini bahkan memiliki keyakinan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan Pilkada yang akan berlangsung dalam waktu dekat. “Biasanya yang diserang memang pihak-pihak yang memiliki pengaruh kuat terhadap suara pemilih,” ungkapnya. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Pagar Nusa Nabil Haroen sangat yakin bahwa serangan dan gangguan tersebut adalah ulah pihak-pihak tertentu. “Saya yakin seribu persen ada yang menggoreng isu menjelang pesta politik,” katanya. Para ulama yang menjadi sasaran teror bermotif politik menurut Nabil bukanlah hal baru. Para kiai NU misalnya, telah mengalaminya pada dekade tahun 65 saat bergesekan dengan PKI dan 98 dengan Orde Baru. “Makanya mau digoreng seperti apa kami tidak akan tergoreng (terpancing,Red),” katanya. Tapi Nabil memastikan para kiai tetap aman. Pagar Nusa telah memiliki mekanisme pengamanan khusus. “Pengamanan kami melekat, dan tertutup,” tuturnya. Saat ini seluruh Pagar Nusa di semua tingkatan telah diperintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun selama tidak ada perintah khusus dari kiai, kata Nabil, mereka tidak akan bergerak. Nabil juga optimistis anggotanya tidak akan kecolongan. Silaturrahmi tetap dijalin oleh pengurus Pagar Nusa terhadap ulama di daerah masing-masing. Informasi terhadap situasi di sekeliling kiai juga terus update baik dari internal maupun kerjasama dengan aparat. ”Jadi kami pasti tahu apa yang terjadi,” katanya. Contohnya seperti gangguan terhadap keluarga Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Kediri senin lalu. Nabil mengklaim, sebelum gangguan terjadi sekitar pukul 16.00 WIB, beberapa jam sebelum itu, ia telah menerima informasi bahwa ada gangguan terhadap keluarga kiai. Meski demikian, Wasekjen dan Sejarawan PBNU Abdul Mun’im DZ berpendapat bahwa masih terlalu dini untuk menyamakan antara penyerangan ataupun gangguan yang terjadi pada beberapa tokoh agama dan pesantren yang terjadi beberapa hari terakhir dengan kasus teror terhadap Kiai pada dekade tahun 1998. Yang terjadi belakangan, kata Mun’im, sifatnya lebih sporadik dan tersebar. “Kalau tahun 98 itu sifatnya lebih masif,” katanya. Hanya saja menurut penyusun buku “Benturan NU-PKI” ini, saat ini kondisi masyarakat indonesia sangat mudah sekali untuk terpengaruh dan terprovokasi oleh isu-isu yang belum jelas kebenarannya. Sehingga mungkin dimanfaatkan piahk-pihak tertentu. “Menurut saya lebih untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan saja,” katanya. Sejak dahulu, kata Mun’im para kiai maupun Ulama telah memiliki mekanisme perlindungan masing-masing. Selain itu, di pesantren biasanya terdapat keamanan khusus untuk menjaga wilayah pesantren. Sementara di PBNU terdapat unsur pengamanan organik seperti Barisan Serbaguna (Banser) dan Pagar Nusa. “Dua organisasi itu didirikan memang untuk melindungi para kiai,” kata Mun’im. Menurut Mu’in juga bisa jadi bahwa ada aktor intelektual di balik beberapa gangguan yang terjadi di beberapa daerah. “Makanya semua pihak harus bisa menahan diri,” pungkasnya.(mg-14/jpg/bha)
Sumber: