Habibie Minta Bantuan PT DI
JAKARTA-Perusahaan pengembang pesawat milik Presiden Ketiga RI BJ Habibie, PT Regio Aviasi Industri (RAI) mengharapkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara PT Dirgantara Indonesia (DI) membantu pembuatan pesawat R80. Komisioner PT RAI Ilham Habibie mengatakan, peran PT DI sangat dibutuhkan untuk pengembangan pesawat buatan BJ Habibie. "Kami menginginkan, PT DI mengembangkan kokpit atau sayap R80," kata Ilham di kediaman BJ Habibie, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (22/2). Sejauh ini, sudah 60 perusahaan pengembang pesawat internasional yang bergabung dalam pembuatan pesawat R80. Terbaru adalah kerja sama dengan perusahaan pengembang komponen pesawat asal Italia, Leonardo Aerostructures Division dan LAER. Kedua perusahaan itu tertarik mengembangkan badan dan buntut pesawat. Di samping pengembangan pesawat R80, Ilham melanjutkan, pihaknya ingin PT DI menyediakan lahan untuk perakitan pesawat R80. Sejauh ini, PT RAI belum memiliki lahan. "Kami butuh tempat untuk perakitan final. Kami harus bangun tetap di indonesia," kata dia. Dia menargetkan, perakitan pesawat R80 dimulai pada 2022. Kemudian, penyerahan perdana pesawat akan dimulai pada 2024. "Pembeli sudah ada. Pertama dari NAM Air dan Sriwijaya," pungkas dia. Untuk diketahui, PT Regio Aviasi Industri (RAI) tengah mengembangkan pesawat penumpang bermesin turboprop bernama R-80. Pesawat tersebut merupakan kelanjutan dari cita-cita BJ Habibie untuk mengambangkan pesawat sendiri di Indonesia. Sebelumnya, di bawah Industri Pesawat Terbang Nurtanio, BJ Habibie pernah mengembangkan pesawat sejenis bernama N-250 atau yang dikenal juga dengan nama Gatot Kaca. ”R-80 ini adalah ide Bapak (BJ Habibie) yang merupakan terusan dari N-250,” kata Ilham kepada wartawan, beberapa waktu lalu. Menurut Ilham, BJ Habibie memang punya keinginan untuk mengembangkan pesawat itu karena ternyata Indonesia memang pasar terbesar untuk pesawat jenis baling-baling. Sayangnya, tidak satu pun dari pesawat-pesawat itu merupakan karya anak bangsa. Semuanya merupakan pesawat impor yang sebetulnya bisa dibuat sendiri oleh para insinyur di Indonesia. ”Demand di kita, penumpang di kita, airline di kita, tapi produknya bukan dari kita. Padahal kita punya SDM dengan kualitas memadai. Sayang sekali kita tidak jadi tuan rumah di negeri sendiri,” papar Ilham. (jpc/esa)
Sumber: