Ada Yang Tunggangi Isu Penganiayaan
AKSI teror berupa penganiayaan kepada sejumlah ulama di beberapa daerah membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap. Mereka meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin tidak ingin kejadian serupa terulang kembali. Ma’ruf menjelaskan menyikapi sejumlah kasus penganiayaan kepada ulama harus diusut tuntas oleh polisi. Selain itu polisi harus menjelaskan kepada publik kasus yang sebenarnya terjadi bagaimana. “Motifnya apa. Apa nakut-nakutin ulama aja,” katanya saat dihubungi kemarin (20/2). Meskipun begitu Ma’ruf mengatakan di tengah kabar aksi penyerangan atau penganiayaan ulama itu, masih banyak informasi simpang siur. Penjelasan dari pihak polisi diharapkan bisa mengungkapkan kasus sebenarnya. Dia tidak ingin masyarakat justru mendapatkan informasi palsu alias hoax. “Katanya (pelakunya, red) orang gila. Ada yang bilang pura-pula gila,” jelasnya. Dia menegaskan sebagai warga negara, ulama juga harus dijaga oleh aparat keamanan. Ma’ruf ingin polisi ikut menjaga ulama dari potensi adanya penyerangan atau penganiayaan. Pada prinsipnya dita tidak mau kasus penganiayaan kepada ulama kembali terulang. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menambahkan aksi kekerasan sampai pembunuhan tokoh agama harus diusut tuntas. Dia menginginkan supaya aksi kekerasan terhadap simbol keagamaan yang baru-baru ini cenderung terencana, sporadik, dan sistemik bisa ditangani. Penuntasan kasus-kasus tersebut perlu segera dilakukan. Sebab di tengah masyarakat saat ini berkembang rumor yang menimbulkan prasangka dan menyesatkan. Dia tidak ingin prasangka itu memicu kekacauan di masyarakat. “MUI menengarai ada pihak yang ingin membuat suasana ketakutan, saling curiga, dan ketegangan dalam kehidupan bermasyarakat,” paparnya. Zainut menduga ada rekayasa jahat yang bertujuan membuat kekacauan dan konflik antar elemen masyarakat. Dengan memanfaatkan momentum tahun politik. Untuk itu MUI mengajar seluruh elemen masyarakat untuk lebih meningkatkan kewaspadaan, bersikap tenang, dapat mengendalikan diri, serta tidak mudah terprovokasi oleh pihak yang ingin mengadudomba. Serangan terhadap tokoh agama maupun tempat ibadah terus berulang. Belum tuntas kasus sebelumnya, Polri harus berhadapan dengan kasus lainnya. Belakangan, nyaris setiap pekan informasi penyerangan muncul. Terakhir beredar informasi serangan terjadi di Pondok Pesantren Al Falah, Kediri, Senin malam (19/2). Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran Muradi, serangan serupa masih berpotensi terjadi lagi. Namun, pola serangan sama sekali diluar kebiasaan kelompok atau jaringan teroris di Indonesia. Karena itu, dia pun menyampaikan bahwa sejumlah serangan belakangan bukan dilakukan oleh teroris. “Mereka bunuh diri kalau terlibat,” imbuhnya. Disamping tokoh agama dan tempat ibadah yang menjadi sasaran, sebaran informasi yang begitu cepat juga membuat Muradi ragu serangan tersebut didalangi oleh teroris. ”Dalam sepuluh menit videonya sudah beredar,” imbuhnya. Pengamat terorisme Al Chaidar pun dengan tegas menyatakan bahwa serangan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah beberapa hari belakangan bukan dilakukan oleh teroris. Dia pun sangsi setiap serangan yang terjadi merupakan insiden. Menurut dia, semua sudah diatur. “Pasti ada skenarionya,” kata dia. Namun, Al Chaidar juga tidak bisa menyampaikan secara terperinci pembuat skenario yang dia maksud. Tapi, bisa jadi skenario itu erat kaitannya dengan kepentingan politik. Bukan sekedar menarget tokoh agama dan tempat ibadah, serangan-serangan itu ditujukan guna menimbulkan perasaan takut di masyarakat. Untuk itu, dia meminta seluruh aparat keamanan mengungkap setiap kasus sampai benar-benar tuntas. Termasuk soal latar belakang setiap pelaku penyerangan. Sebab, akan muncul banyak pertanyaan jika setiap pelaku disebut punya masalah kejiwaan. “Mana mungkin orang gila bisa menyadari sasaran tertentu secara tepat,” kata dia. Berkaitan dengan hal itu, pengamat intelijen dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyampaikan bahwa, serangan yang berulang kali terjadi di berbagai daerah dan lokasi berbeda tidak bisa disebut sekadar insiden. “Jika terjadi satu kali saya bisa percaya itu insiden,” imbuhnya. Namun, karena serangan terus berulang, dia memandang bahwa serangan tersebut sudah diatur. “Menurut saya by design,” tambah dia. Pria yang akrab dipanggil Khairul itu menyebut, pengaturan serangan tersebut dilakukan oleh jaringan fasis. “Mereka menyebar di kelompok-kelompok politik yang bahkan berhadap-hadapan,” terang dia. Sebab, dia yakin bukan jaringan atau kelompok teroris yang menggerakan para pelaku penyerangan. “Bahwa mereka melibatkan kelompok-kelompok esktrem itu mungkin saja. Namun, perlu telaah lenbih lanjut,” bebernya. Berdasar analisisnya, sejumlah serangan belakangan tidak dilakukan untuk mencapai target jangka pendek. Melainkan ada tujuan jangka panjang. Bahkan, masih kata dia, infrastrukturnya sudah disiapkan sejak pemilu 2014 tuntas. Jika diibaratkan rumput atau jerami, sambung Khairul, rumput atau jerami itu sudah kering. “Siap dibakar sewaktu-waktu,” ungkap dia. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan kecurigaan di antara masyarakat. Selain itu, juga untuk membuat ketakutan yang menyebar. “Dan pada akhirnya kegaduhan,” kata Khairul. Saat ini, problem hukum dan keamanan berkelindan dengan masalah sosial ekonomi. Untuk itu, dia berpendapat bahwa Polri harus sangat hati-hati mengambil langkah. “Penting bagi Polri untuk mendesain pendekatan yang lebih dialogis, lentur, dan humanis agar tidak kontra produktif bagi upaya penegakan hukum dan keamanan yang harus mereka lakukan dalam kondisi apapun,” bebernya. Khairul mengakui, pendekatan melalui tokoh agama memang penting. Namun, tidak cukup sampai di situ saja. Perlu pelibatan yang lebih luas, berwarna, dan berkualitas. Polri juga wajib menunjukan aksi konkrit dengan meningkatkan security awareness publik dan meningkatkan sense of hazard pada setiap personel mereka di lapangan. “Juga berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan lainnya untuk pengembangan dialog dan pengelolaan problem sosial ekonomi,” tutur dia. Sementara rencananya Polri akan berkoordinasi dengan MUI terkait gejala penganiayaan tokoh agama dan pengrusakan simbol agama. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Komjen Suhardi Alius dijadwalkan hadir dalam koordinasi yang dijadwalkan siang ini (21/2). “Ada rencana kesana,” ujar Kabareskrim. Namun, dia belum bisa membeberkan terkait apa langkah strategis yang akan dijalankan ke depan. Yang pasti, Polri akan berupaya maksimal menyelesaikan persoalan tersebut. Sementara sumber internal Polri menyebutkan bahwa Polri tentu memiliki rencana untuk membuka seterang-terangnya hasil berbagai penyelidikan kekerasan terhadap tokoh agama dan pengrusakan simbol agama. Salah satunya, dengan membeberkan bukti surat keterangan sakit jiwa dari dokter. Bahkan, kalau perlu meminta keluarga orang sakit jiwa ini untuk menunjukkan surat bukti sakit jiwa. Sehingga, dugaan-dugaan selama ini bisa diluruskan. “Mau tidak mau, dalam kondisi dugaan liar ini pasti ada yang diuntungkan atau malah menunggangi isu tersebut,” jelasnya. Tujuannya bisa berbagai hal. Namun, cara untuk mencapai tujuan itu mengorbankan persatuan bangsa. Hal tersebut tentunya perlu untuk ditindaklanjuti. “Sebenarnya sudah ada yang diamankan terkait beberapa pihak yang menunggangi isu penganiayaan tokoh agama dan pengrusakan ini,” tuturnya. Soal tujuannya, dia menyebut bahwa saat ini beberapa orang ini sedang dalam pemeriksaan. Tentunya, akan diketahui apa dibalik fenomena melecutnya penganiayaan dan pengrusakan yang berdampak domino ini. “Kita lihat nanti,” terangnya. (jp/bha)
Sumber: