Sejarah Kolonial di Museuem Multatuli Lebak
LEBAK - Indonesia kini punya museum antikolonialisme. Museum Multatuli namanya. Museum yang berlokasi di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten itu resmi dibuka untuk umum kemarin (11/2). Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengatakan, museum tersebut membantu menjawab pertanyaan bagaimana masa kolonialisme berlangsung di tanah air. Dan bagaimana rakyat berjuang untuk keluar dari masa-masa suram tersebut. “Museum ini merekam dan mengangkat kembali perjuangan antikolonialisme. Di Museum Nasional pun, narasi antikolonialisme kurang. Ini akan melengkapi sejarah,” kata Hilmar pada kegiatan pembukaan museum kemarin. Hilmar menjelaskan, Indonesia punya banyak sekali informasi mengenai sejarah berabad-abad lalu dari zaman Hindu. Namun, sedikit sekali informasi mengenai masa kolonial. Baru masa kemerdekaan informasi yang dimiliki kembali berlimpah. “Bolongnya sangat besar. Museum ini bisa mengisi kekosongan itu,” ujarnya. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menjadi simbol antikolonialisme lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar memang menjadi tokoh sentral di museum tersebut. Namun, museum tersebut menyajikan lebih dari itu. Sosok Multatuli yang membongkar praktik kolonialisme yang dilakukan bangsanya terhadap masyarakat Indonesia menjadi inspirasi utama museum tersebut. Sebelum akhirnya dibuka untuk umum, tim periset membutuhkan waktu selama empat tahun untuk mengumpulkan berbagai data hingga menyusun konsep museum. Sejarawan Bonnie Triyana yang juga terlibat sebagai tim periset mengatakan, karena museum berbicara tentang kolonialisme keseluruhan, riset pun dilakukan dengan mencari beragam data tentang zaman tersebut. Pencarian pun bahkan dilakukan hingga ke Belanda. Harapannya tentu untuk bisa menemukan banyak informasi. Sayangnya, pencarian Bonnie hingga Belanda tidak banyak membuahkan hasil. “Enggak bisa ditemukan banyak artefak. Tapi kami berupaya mendatangkan beberapa barang dari sana. Ada tegel rumah Multatuli dan buku Max Havelaar cetakan pertama bahasa Prancis,” terang dia. Setelah mengumpulkan artefak yang tidak seberapa itu, Bonnie dan tim menentukan timeline, story line, dan konsep ruagan museum. Dari buah pemikiran mereka, diputuskanlah empat tema yang digunakan untuk museum tersebut. “Empat tema tersebut dibagi ke dalam tujuh ruangan. Empat tema tersebut adalah sejarah datangnya kolonialisme, Multatuli dan karyanya, sejarah Banten dan Lebak, serta Lebak masa kini,” jelas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak Wawan Ruswandi. Ruangan pertama berisi gambar wajah Multatuli dilengkapi dengam kutipan "Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia". Di ruangan kedua, pengunjung akan disuguhi aroma beragam rempah. Beragam rempah-rempah Indonesia yang laku di pasar Eropa itu memang sengaja disajikan untuk mengantarkan pengunjung pada konsep tanam paksa yang dicanangkan pemerintah kolonial. Di ruangan itu juga disajikan film pendek dengan tema serupa. Ruangan ketiga berisi biji kopi yang menjadi komoditas nusantara yang lagi-lagi dirampas oleh pemerintah kolonial. Benda-benda sejarah seperti penggiling kopi dan sadel kuda yang digunakan untuk mengangkut biji kopi dihadirkan. Ruangan keempat menjadi ruangan penyimpanan cetakan pertama buku Max Havelaar dalam bahasa Prancis. Tiga ruangan selanjutnya berisi sejarah Banten dan Lebak dari zaman kolonial hingga sekarang. Di bagian luar, ada patung Saidjah, Adinda, dan Multatuli yang dibuat oleh maestro patung Dolorosa Sinaga. Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya menuturkan, Museum Multatuli ditata dengan begitu apik. Secara eksterior memang terlihat seperti rumah-rumah zaman kolonial. Tujuannya untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Namun, bagian dalamnya didesain dengan interior modern. Perpaduan penataan display dan multimedia juga ditonjolkan. “Kami ingin ini menjadi tempat yang menarik dan Instagrammable. Dengan kekuatan media sosial, ini bisa lebih banyak dikenal orang. Dan akan lebih banyak orang datang ke sini dan belajar sejarah,” jelas Iti. Wawan menambahkan, agar semakin menarik bagi kaum muda, film-film pendek pun disajikan. Melalui film-film tersebut, para pengunjung bisa dengan mudah dan asyik memahami sejarah. Ke depannya, museum ini akan memiliki lebih banyak benda sejarah. Menurut Bonnie, Museum Multatuli sudah bekerja sama dengan Multatuli Haus di Amsterdam, Belanda, untuk mendatangkan artefak-artefak. “Koleksi lain akan datang. Salah satunya payung dari abad 18. Payung tersebut milik mantan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Pieter Mijer. Payung yang menjadi simbol kekuasaan feodal dibawa Pieter Mijer ke Belanda. Dan kini akan disumbangkan oleh keluarganya,” ungkap dia. Dibukanya Museum Multatuli akan melengkapi Perpustakaan Saidjah Adinda yang sudah lebih dulu dibuka pada Desember lalu. Iti berharap adanya pespustakaan dan museum tersebut bisa jadi sumber ilmu sekaligus pintu masuk bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Lebak. Di museum ini ada koleksi primadona yang didatangkan langsung dari Belanda. Koleksi unggulan itu seperti sebuah ubin yang diambil dari rumah Multatuli. Kemudian ada pula kumpulan karya tulis Multatuli yang terdiri atas 25 buku. Buku ke-1 sampai ke-7 adalah tulisan untuk konsumsi umum. “Isinya di antaranya soal novel Max Havelaar,” kata Kepala Seksi Cagar Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak Ubaidilah. Kemudian buku ke-8 sampai ke-25 adalah kumpulan surat-surat tulisan Multatuli. Di antaranya tulisannya untuk beberapa sahabat. Koleksi lain yang didatangkan dari Belanda adalah novel Max Havelaar keluaran 1876 yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Prancis. Seperti diketahui, novel yang menceritakan tentang kekejaman kolonial Belanda kepada masyarakat Lebak itu ditulis pada 1860 oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Ubaidilah kemudian menunjukkan litografi Multatuli yang juga didatangkan dari Belanda. Belum bisa dipastikan litografi Multatuli itu dibuat tahun berapa. Tetapi diduga dibuat pada 1864. Kemudian difoto oleh Cesar Mitkewicz. Museum Multatuli berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter. Bangunan yang digunakan adalah bekas kantor Wedana Lebak dan dibangun sejak 1923. Direktur Konservasi Multatuli Huis Klaartje Groot mengatakan, dirinya begitu terinspirasi dan mengagumi sosok Multatuli. Kata dia, Multatuli adalah seorang pria dengan kemampuan literasi sangat tinggi. Di Multatuli Huis Amsterdam, lanjut dia, juga banyak koleksi penting terkait sosok Multatuli. Di antaranya beberapa helai rambut Multatuli yang berwarna pirang. Kemudian juga ada beberapa perkakas mebel yang dahulu sempat digunakan Multatuli. Pengunjung yang masuk ke kompleks museum bakal langsung merasakan aura Multatuli. Sebab, di samping museum didirikan patung Multatuli sedang membaca buku di kamar kerjanya. Patung yang berbahan perunggu itu dibuat Dolorosa Sinaga. Ikut menemani Multatuli membaca buku di bawah pohon rindang, ada patung Saidjah dan Adinda. Pasangan muda-mudi asal Lebak yang muncul di dalam novel Max Havelaar. (jpg/bha)
Sumber: