Dahlan Iskan Jaminkan Harta Pribadinya ke Bank
SIDOARJO-Pengorbanan Dahlan Iskan untuk menghidupkan BUMD yang nyaris mati tidak terbilang lagi. Mantan Dirut PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim itu tidak saja meminjamkan uang pribadinya, tapi juga menjaminkan harta keluarga, anak, hingga cucunya semata-mata agar BUMD yang dipimpinnya bisa mendapat pinjaman dari bank.
Cerita tersebut diungkapkan Dahlan saat menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Surabaya kemarin (4/4). Mantan menteri BUMN itu membeberkan cerita hingga dirinya bersedia ditunjuk Gubernur Jatim (waktu itu) Imam Utomo untuk memimpin PT PWU dengan beberapa syarat.
Salah satunya, BUMD itu harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Tujuannya, pengambilan keputusan tidak melalui proses politik yang ribet. Selain itu, Dahlan menolak digaji dan menerima fasilitas apa pun selama menjadi dirut. ’’Saya ingin mengabdi setulus-tulusnya,’’ kata Dahlan. Mantan Dirut PLN tersebut juga menolak kucuran dana dari APBD untuk PT PWU.
Terjun menjadi Dirut PT PWU juga bukan hal mudah. Sebab, banyak anak perusahaan yang hendak mati dan asetnya berserakan tidak terurus. Bahkan, untuk sekadar bertahan hidup pun, perusahaan tidak punya dana. Kesulitan itu sangat dirasakan ketika akan menjalankan hasil rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk membangun pabrik conveyor belt sebagai ganti pabrik karet di Ngagel, Surabaya. Sebab, PT PWU tidak punya dana.
Satu-satunya jalan adalah meminjam dana ke bank. Sayang, bank menolak memberikan pinjaman. Alasannya, jika kredit macet, agunannya sulit diproses karena kebanyakan aset PWU yang dijadikan jaminan bermasalah. Selain itu, harus melalui proses politik yang panjang.
Bank bersedia memberikan pinjaman asalkan Dahlan mau menjadi personal guarantee. Tanpa berpikir panjang, Dahlan menyetujui syarat itu. Dia menjadi jaminan perorangan untuk pinjaman Rp 40 miliar yang diajukan PT PWU. ’’Saya sangat tahu risikonya. Kalau kredit sampai macet, harta saya akan disita. Kalau tidak cukup, utang itu ditanggung anak hingga cucu saya,’’ ucapnya.
’’Saya orang Jatim. Saya cinta Jatim. Saya tidak ingin perusahaan ini tidak jalan. Saya akan melakukan apa pun agar perusahaan ini maju,’’ tegas Dahlan. Perjuangan berat itu akhirnya membuahkan hasil. Pabrik tersebut berhasil menjadi pabrik conveyor belt terbesar di Indonesia. Sebelum ada pabrik itu, untuk keperluan conveyor belt, Indonesia selalu melakukan impor.
PT PWU bisa menjual produk dengan harga yang lebih murah, tapi kualitasnya bagus. ’’Sampai sering menang dalam tender internasional. Bisa mengalahkan peserta tender dari Jerman, Prancis, dan Tiongkok,’’ ungkapnya.
Pengorbanan Dahlan bukan itu saja. Saat akan membangun gedung Jatim Expo (sekarang JX International), Dahlan meminjamkan uang pribadinya Rp 5 miliar. ’’Saya tidak mengira akhirnya harus menjadi terdakwa seperti ini,’’ ujarnya.
Dahlan pernah bertanya langsung kepada Imam Utomo mengapa menunjuknya sebagai Dirut PWU. Imam menjawab, Dahlan saat itu terpilih sebagai CEO terbaik di Indonesia. Ketika itu Dahlan memimpin 16 perusahaan di PT PWU. Di luar itu, dia juga memimpin lebih dari seratus perusahaan di bawah Jawa Pos Group di seluruh Indonesia, dari Medan hingga Jayapura. Sementara itu, agenda pemeriksaan terdakwa kemarin dimanfaatkan jaksa untuk mencari-cari kesalahan Dahlan. Namun, jaksa gagal mendapatkannya.
Bahkan, satu per satu dakwaan jaksa terpatahkan. Baik oleh jawaban Dahlan maupun barang bukti yang disodorkan kuasa hukumnya. Hal itu terlihat dari cara jaksa menanyakan hal-hal teknis yang bukan urusan seorang Dirut. Misalnya, jaksa mempersoalkan tidak diumumkannya pelepasan aset PT PWU di media massa.
Menurut jaksa Trimo, aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), tapi tidak dicantumkan dalam standard operating procedure (SOP) penjualan aset PT PWU. Dahlan menjelaskan, bukan dirinya yang menyusun draf SOP. Yang membuat adalah direktur keuangan PT PWU, yaitu Suhardi. Dahlan hanya disodori untuk bertanda tangan. ’’Beliau (Suhardi) bilang, SOP sudah lengkap dan sesuai dengan yang seharusnya,’’ kata Dahlan.
Tuduhan pelanggaran dalam penyusunan SOP itu langsung terbantahkan. Agus Dwi Warsono, pengacara Dahlan, membacakan pasal 11 ayat 4 dan 5 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Perseroan serta pasal 88 Undang-Undang 1/1995 tentang PT.
Pasal itu dengan jelas menyebutkan bahwa kewajiban mengumumkan pengalihan harta kekayaan hanya berlaku untuk sebagian besar atau keseluruhan harta perusahaan. Agus bertanya kepada Dahlan apakah aset di Kediri dan Tulungagung yang dipersoalkan jaksa itu merupakan sebagian besar atau keseluruhan harta PWU?
’’Itu sebagian kecil,’’ jawab Dahlan. Dengan begitu, ketentuan untuk melakukan pengumuman di media massa sebelum pelepasan aset bukanlah keharusan. Sebab, yang dilepas hanya sebagian kecil aset PWU.
Pertanyaan jaksa yang berbau teknis tidak berhenti di situ. Jaksa menanyakan pertanggungjawaban kasbon yang diajukan Wisnu Wardhana (WW).
Dahlan menyatakan, kasbon itu tentu harus dipertanggungjawabkan Wisnu. Verifikasinya dilakukan bagian keuangan. Secara jenjang tanggung jawab, bagian keuangan juga berada di bawah direktur keuangan, bukan direktur utama.
Jaksa Trimo juga mempertanyakan pemecahan akta dalam penjualan PT PWU. Lagi-lagi Dahlan tidak tahu apa yang terjadi di balik pemecahan itu. Sebab, memang semua diatur tim penjualan yang diketuai Wisnu. ’’Soal dipecah aktanya, saya tidak tahu apa tujuannya. Saya hanya disodori untuk tanda tangan,’’ ujarnya.
Dahlan menyatakan, dalam sidang sudah terungkap bahwa pemecahan akta dan pembayaran merupakan kesepakatan WW dengan Sam Santoso selaku pembeli dalam proses negosiasi. Hasil negosiasi itu diajukan kepada Dahlan untuk dimintakan persetujuan.
Sebelum bertanda tangan, Dahlan juga menanyakan apakah semua telah sesuai dengan prosedur. Ketika dijawab sudah, Dahlan baru menekennya. Sebelum bertanda tangan, dia juga memastikan apakah uang sudah masuk ke perusahaan dan jumlahnya sama dengan kesepakatan. Dahlan sempat menggugah nurani jaksa yang terus mencari kesalahannya dalam penjualan dua aset PT PWU, yakni di Kediri dan Tulungagung.
Menurut dia, tugasnya sebagai Dirut tidak hanya terkait dengan penjualan aset di Kediri dan Tulungagung, tapi juga harus menghidupkan perusahaan. ’’Mohon jangan dibayangkan pekerjaan saya di PT PWU hanya melakukan penjualan aset. Tugas berat saya saat itu luar biasa banyaknya,’’ ungkapnya.
Mulai memindahkan pabrik kulit yang begitu jorok di Jalan A. Yani (Surabaya) ke Pasuruan, membangun pabrik karet baru, hingga membangun gedung Jatim Expo. Tugas berat itu dilaluinya dengan tetap memimpin Jawa Pos Group. ’’Saat itu saya sering datang ke pabrik-pabrik PWU jam 02.00 malam. Karena pekerjaan di Jawa Pos baru selesai jam 01.00,’’ ujarnya.
Kondisi tersebut masih ditambah masalah kesehatan Dahlan. Saat itu Dahlan mulai terdeteksi menderita kanker hati. Agus Dwiwarsono menyatakan, agenda pemeriksaan Dahlan sebagai terdakwa akhirnya mampu menggugurkan semua dakwaan jaksa.
Termasuk tudingan Dahlan menjual aset bekas pabrik di Tulungagung tanpa persetujuan pemegang saham. Dari keterangan Dahlan sekaligus bukti yang disodorkan Agus, penjualan aset itu sebenarnya sudah diamanatkan dalam RUPS.
Namun, Dahlan meminta penjualan tersebut ditunda. Sebab, dia masih berusaha menghidupkan perusahaan keramik itu. Awalnya sempat berhasil, tetapi ternyata ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Kondisi itu membuat pabrik keramik yang mengandalkan pasokan BBM tidak mampu bertahan.
’’Selain itu, ternyata keberadaan pabrik keramik melanggar perda tata ruang Pemkab Tulungagung. Tidak boleh ada pabrik di Kelurahan Kenayan. Jadi, diputuskan dijual sesuai arahan pemegang saham,’’ jelasnya. Ketua Majelis Hakim Tahsin sempat menanyakan mengapa SHGB aset di Kediri yang habis tidak diperpanjang. Dahlan menyatakan sempat berpikir untuk memperpanjangnya.
Namun, karena banyak SHGB yang mati, dipilih skala prioritas. Kalau ada dana, lebih memilih menghidupkan aset yang bukan di Kediri, tapi memilih aset yang lebih strategis. Sebab, kalau dibelikan tanah di Surabaya, nilainya jauh lebih tinggi. (jpg)
Sumber: