Yusril Ihza Mahendra Membalikkan Argumen Putusan MK
JAKARTA - Sudah empat kali gugatan terhadap ambang batas perolehan suara untuk pencalonan presiden (presidential threshold) kandas di Mahkamah Konstitusi. Namun hal itu tidak membuat Yusril Ihza Mahendra menyerah. Dia tetap mencari celah agar aturan tersebut dihapus. Komitmen itu diungkapkan Yusril dalam sidang perdana gugatan yang dilayangkan Partai Bulan Bintang (PBB) bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kemarin (3/10). Dalam pemaparannya, Yusril menjadikan alasan putusan MK sebelumnya sebagai batu loncatan. Sebagaimana diketahui, MK empat kali menolak gugatan karena menilai PT sebagai open legal policy atau kebebasan pembuat kebijakan selama tidak menabrak asas rasionalitas, moralitas, dan keadilan. ’’MK mengatakan, kalau bertentangan dengan tiga hal pertama, itu gak bisa ditolerir,’’ ujarnya memulai dalilnya. Nah, Yusril menilai, ketentuan presidential threshold yang diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan tiga asas tersebut. Terkait dengan rasionalitas, misalnya, dia menilai penggunaan hasil Pemilu 2014 tidak logis jika digunakan pada 2019. ’’Bukankah UUD katakan pemilu diadakan sekali dalam lima tahun. Maksudnya ada kata-kata lima tahun itu sudah terjadi perubahan politik,’’ tuturnya Dalam asas moralitas, dia juga menilai hal yang serupa. Ketua umum PBB itu menilai pembuat UU terlihat politis dalam memaksakan ketentuan threshold yang menguntungkan kelompoknya. Menurut dia, cara-cara tersebut menunjukkan tindakan yang tidak bermoral. Menanggapi hal tersebut, hakim MK I Dewa Gede Palguna menyatakan, pihaknya akan mempertimbangkan semua dalil yang diajukan pemohon. Hal itu nanti digunakan sebagai bahan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). ’’Tidak bisa dibuka di sini,’’ ujarnya. Sementara itu, ditemui setelah sidang, pemohon lain, Hadar Nafis Gumay, mengaku sepakat dengan yang disampaikan Yusril. Bahwa putusan MK tidak berhenti pada open legal policy semata. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi di luarnya seperti rasionalitas, moralitas, dan keadilan. Hadar menambahkan, dari asas keadilan, PT membatasi hak partai politik sebagai peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden. ’’Karena (di UUD) dia dicalonkan oleh peserta pemilu, parpol atau oleh gabungan parpol, artinya partai itu bisa sendiri atau bersama-sama. Tergantung kerelaan,’’ ujar mantan komisioner KPU (2012–2017) tersebut. (far/c5/fat)
Sumber: