Laba Bersih Pertamina Turun 24 Persen
Reporter:
Redaksi Tangeks|
Editor:
Redaksi Tangeks|
Senin 21-08-2017,04:25 WIB
PT Pertamina (Persero) meraih pendapatan sebesar USD 20,5 miliar pada semester pertama 2017. Pencapaian ini naik 19 persen dibandingkan semester pertama 2016, yang tercatat USD 17,2 miliar ditunjang oleh pertumbuhan kinerja operasi yang signifikan.
Pertumbuhan pendapatan tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP), yang mencapai USD 48,9 per barel sepanjang semester pertama 2017, atau naik 35 persen dibandingkan periode semester pertama 2016.
"Pada semester pertama 2017, kondisi lingkungan eksternal masih sangat 'volatile' dengan tren harga minyak dunia terus meningkat. Di satu sisi naiknya harga minyak mentah telah menjadi insentif bagi bisnis hulu. Namun kenaikan harga minyak mentah tersebut juga berpengaruh pada peningkatan beban pokok penjualan di sektor hilir, yang banyak berdampak pada perolehan laba bersih perusahaan. kendat secara operasional sektor hilir juga tumbuh positif," kata Dirut Pertamina Massa Manik di Jakarta, Rabu (16/8).
Dijelaskan Manik, laba bersih semester pertama 2017 tercatat USD 1,4 miliar, atau turun 24 persen dibandingkan semester pertama 2016. Sejumlah kinerja operasional Pertamina pada semester pertama 2017, kata dia, juga menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan dibandingkan semester pertama 2016. Di sektor hulu misalnya, produksi minyak dan gas bumi mengalami kenaikan 8 persen menjadi 692 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) sepanjang semester pertama 2017.
"Kenaikan produksi migas itu terdiri atas minyak yang meningkat 12 persen menjadi sebesar 343 MBOPD pada semester pertama 2017. Adapun gas bumi, naik 4 persen sebesar 2.022 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada semester pertama 2017 dibandingkan semester pertama 2016," jelas dia. Sementara di sektor pemasaran dan niaga, penjualan bahan bakar minyak (BBM) pada semester pertama 2017 mengalami kenaikan 4 persen menjadi 32,60 juta kiloliter (KL.)
Demikian pula penjualan non-BBM berupa gas domestik, petrokimia, dan pelumas yang naik 6 persen pada semester pertama 2017 menjadi 7,82 juta KL. "Peningkatan porsi penjualan BBM nonsubsidi juga berkontribusi pada kenaikan revenue Pertamina sepanjang semester pertama 2017," jelas dia.
Per Juni 2016, porsi penjualan BBK Perta Series jenis gasoline (Pertamax, Pertamax Plus/Turbo, Pertamax Racing dan Pertalite) baru mencapai 18,9 persen dan Premium 81,1 persen. Namun, per Juni 2017, porsi penjualan BBK Perta Series jenis gasoline melonjak dan sudah melampaui Premium yakni 57,6 persen berbanding 42,4 persen. Sementara, porsi penjualan BBK jenis diesel (Pertamina Dex dan Dexlite) per Juni 2017 mencapai 3,6 persen atau naik dibandingkan posisi Juni 2016 yang hanya 1,2 persen.
Untuk kinerja pengolahan pada semester pertama 2017, total intake terealisasi 157,06 juta barel (MMBbl), total output 148,6 MMBbl, volume valueable product 122,64 MMBbl, dan yield valuable product to total intake 78,09 persen.
Adapun, program refinery development master plan (RDMP) yang dilaksanakan di empat kilang yakni Balikpapan, Kaltim; Balongan, Jabar; Cilacap, Jateng; dan Dumai, Riau serta grass root refinery (GRR) di dua lokasi yaitu Tuban, Jatim dan Bontang, Kaltim, masih berjalan sesuai jadwal.
"RDMP Balikpapan dalam tahap finalisasi tahapan FEED." Adapun kinerja gas sepanjang semester pertama 2017 untuk transportasi tercatat 253,1 miliar kaki kubik (BSCF) dan penjualan gas alam cair (LNG) terealisasi 258,01 juta MMBTU.
Di sisi lain, untuk mengantisipasi faktor eksternal itu, Pertamina tetap menjalankan program efisiensi perusahaan dan penciptaan nilai tambah melalui break through project (BTP) yang sudah mencatat USD 360 juta dolar AS, serta inisiatif strategis lainnya. "Efisiensi dan inovasi yang dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan menjadi kunci Pertamina menghadapi situasi industri migas global yang belum juga membaik."
Untuk Program Indonesia Satu Harga, Pertamina telah berhasil mendirikan lembaga penyalur BBM di 25 titik wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) per Juli 2017. Sesuai rencana, Program Indonesia Satu Harga ditargetkan mencapai 159 titik wilayah 3T hingga 2019. (cr4/JPC)
Sumber: