Utang Negara Membengkak
JAKARTA-Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution akhirnya angkat bicara mengenai utang negara yang kini di angka Rp 3.600 triliun lebih. Itu disampaikannya ketika ditanya wartawan mengenai tren pertumbuhan ekonomi di kompleks Istana Negara Jakarta, Selasa (8/8). Darmin menegaskan bahwa utang negara itu tidak semuanya di era pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), yang memerintah sejak Oktober 2014. "Barangkali bagus juga kalau disinggung soal utang. Ini pemerintah Jokowi utang banyak. Nanti dulu. Itu bukan utang pemerintah Jokowi lho, yang 3.600 T," tegas Darmin. Dia menyebutkan, ketika Jokowi-JK dilantik, utang Indonesia sudah berada di angka Rp 2.700 triliun. Nah, selama tiga tahun pemerintahan ini berjalan, untuk menyicilnya saja dihabiskan sekitar Rp 700 T. "Seandainya tidak berbuat apa-apa, utang kita 3.400 (triliun) juga. Sekarang 3.600-3.700, tapi kita membangun. Jangan dianggap kemudian 3.600-3.700 itu utang yang dibuat pemerintahan Jokowi," tegas mantan Gubernur Bank Indonesia itu lagi. Sekarang, katanya, tinggal dipilih mau tanpa melakukan apa-apa tapi utang negara tetap naik jadi Rp 3.400 T, atau menambah utang jadi Rp 3.700 T, tapi digunakan untuk pembangunan nasional. Kalau yang dipersoalkan masalah keamanannya, Darmin menyatakan aman. "Aman. Lha wong yang namanya pinjaman itu untuk membangun infrastruktur. Itu namanya pinjaman untuk kegiatan produktif. Kecuali kalau untuk makan, ceritanya lain," jelas dia. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah mulai meningkatkan kewaspadaan. Sebab, rasio utang merupakan indikator keamanan yang fiskal. Berdasar data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, sejak 2011 hingga tahun lalu, rasio utang pemerintah merangkak naik. Sepanjang tahun lalu, rasio utang pemerintah Indonesia menyentuh angka 27,5 persen terhadap PDB. Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rasio utang tersebut masih tergolong aman. Namun, pihaknya menyebutkan bahwa ketidakpastian global menjadi kewaspadaan pemerintah dalam mengelola utang. ”Kami tetap waspada dalam mengelola APBN,” katanya. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menuturkan, dalam mengelola APBN, pemerintah mempertimbangkan dinamika ekonomi global. Misalnya, dampak ke harga komoditas dan sentimen-sentimen negatif yang berpotensi memengaruhi gerak nilai tukar rupiah dan perkembangan inflasi hingga tingkat suku bunga. Sejumlah komponen itu berdampak pada pengelolaan anggaran. ”Kami lihat dampaknya ke APBN serta bagaimana angkanya akan berubah dari sisi penerimaan dan belanja negara,” paparnya. Dia menuturkan, rasio utang pemerintah Indonesia masih relatif baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dia membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan Jepang yang menembus 250 persen PDB dan Amerika Serikat (108 persen). ”Rasio utang kita terhadap PDB yang 27,5 persen itu relatively well,” tuturnya. Penggunaan utang, lanjut dia, harus produktif. Jika digunakan untuk sesuatu yang produktif seperti investasi, hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, jika digunakan untuk program yang bersifat konsumtif, hal itu akan membahayakan. ”Negara itu seperti korporasi. Kalau untuk investasi dan ternyata ekspansinya bagus serta menghasilkan pendapatan, utang bukanlah problem. Tapi, utang bisa menjadi disaster kalau tidak jadi apa-apa,” imbuhnya. Outstanding utang sepanjang tahun lalu mencapai Rp 3.466,9 triliun atau setara dengan USD 258,04 miliar dengan rasio utang 27,5 persen dari PDB. Jumlah utang tersebut naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya Rp 3.165,2 triliun atau setara dengan USD 229,44 miliar dengan rasio utang 27,4 persen. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah terhadap PDB masih berada di bawah batas maksimal. Yakni, 60 persen dari PDB. (jpnn)
Sumber: