Pemda Dipersilakan Atur Ojek Online

Pemda Dipersilakan Atur Ojek Online

JAKARTA--Kementerian Perhubungan mempersilakan pemerintah daerah membuat aturan sendiri soal ojek online. Sebab ojek online sebagai angkutan umum tak ada dalam undang-undang. “Walaupun belum diatur, sebetulnya Pemda berwenang mengatur,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub, JA Barata‎ dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3).

Barata menambahkan, sepeda motor tidak termasuk angkutan umum dalam undang-undang karena dianggap terlalu berisiko. Hal itu tak hanya di Indonesia, tetapi juga sejumlah negara di dunia juga. Namun karena ojek online sudah menjadi fenomena saat ini, maka Pemda boleh membuat aturan sendiri. Ia mengambil contoh di Yogyakarta, andong menjamur dan pemerintah daerah akhirnya membuat aturan soal itu.

“Kalau pun tidak diatur, fenomena muncul di tengah-tengah kita. Kita perlu atur supaya enggak kumpul di satu tempat supaya enggak macet, Pemda bisa atur itu,” kata dia.

Ketua DPP Organda Korwil II Wilayah DKI, Jabar dan Banten, Safruhan Sinungan, menambahkan justru menurut dia yang harus mengeluarkan aturan adalah pemerintah pusat bukan pemerintah daerah.

“Tidak bisa kita serahkan Pemda, kita bisa akomodir roda dua, misal kirim barang, pesan makanan, boleh saja bukan untuk angkutan orang, karena sangat sensitif tentang keselamatan. Ini harus diambil alih pemerintah," tandas Safruhan.

Safruhan menilai pemerintah terlambat membuat aturan tentang transportasi online.

Dia menegaskan, Organda tidak pernah menentang bisnis transportasi. “Yang Organda sesalkan adalah tentang aturannya," kata Syahfruhan di kesempatan itu.

Menurut Syafruhan, aturan yang hingga kini dibuat oleh pemerintah adalah tentang keberadaraan dan operasional ojek online. Sedangkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 belum mencantumkan aturan kendaraan roda dua sebagai transportasi umum. “Kalau bisa dianggap sebagai transportasi, ya dibuat saja,” katanya.

Dia mengingatkan, jika masih abu-abu seperti sekarang ini maka potensi konflik cukup besar. “Di lapangan terjadi persaingan tidak sehat. Satu sama lain perang tarif,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, perlu upaya bersama untuk mencegah terjadinya lagi gesekan antara transportasi online dan konvensional.

Dia mengatakan, potensi-potensi terjadinya gesekan itu sudah harus dideteksi sejak awal. Menurut dia, saat terjadi gesekan maka Polri mengajak semua aparatur pemerintah bisa melakukan pencegahan.

“Tiga atau empat hari lalu, Kapolri, Menteri Perhubungan, Menkominfo, menyampaikan akan ada tim untuk mencegah ini,” kata Martinus. “Kami tidak bisa sendiri, kami bekerja sama dengan instansi lainnya,” tambah mantan Kabid Humas Polda Jabar dan Metro Jaya itu.

Martin menegaskan, Polri tak segan-segan bertindak tegas jika sudah terjadi kerusuhan. Martinus menyatakan, gesekan yang terjadi antara transportasi online dan konvensional harus disudahi.

“Jangan sampai menimbulkan korban. Kita harus beri efek jera kepada mereka. Kita harus bertindak tegas,” katanya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Harryadin Mahardika mengatakan Indonesia merupakan market yang besar untuk transportasi berbasis online.

Menurut dia, sebagian orang menganggap transportasi online merupakan solusi berkendara, terlebih lagi di Jakarta. Karenanya, dia mengatakan perlu adanya regulasi yang bisa menguntungkan masyarakat maupun penyedia transportasi online.

“Tinggal regulasinya bagaimana supaya driver online dan konsumen bisa sama-sama untung,” kata Harryadin di diskusi "Kisruh Transportasi Online" di Cikini, Sabtu (25/3).

Haryadin mengatakan, memang di transportasi online pemerintah hadir belakangan. Namun, kata dia, pemerintah juga tidak bisa disalahkan karena harus hati-hati dalam mengeluarkan regulasi.(jpnn/bha)

Sumber: