Novanto Masih Hadiri Rapat Paripurna

Novanto Masih Hadiri Rapat Paripurna

Usai mendapatkan status tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto masih menjalani tugasnya sebagai ketua DPR. Dia hadir dalam rapat paripurna pengambilan keputusan tentang RUU Pemilu hari ini, Kamis (20/7). Kendati tidak memimpin rapat tersebut, Novanto memandu acara pengambilan sumpah jabatan Anggota Fraksi PDIP Erwin Tobing.

"Patut saya ingatkan sumpah yang saudara ucapkan mengandung tanggung jawab terhadap bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia Tanggung jawab menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945. Sumpah ini adalah janji terhadap tuhan yang maha esa dan manusia yang harus ditepati dengan segala keikhlasan dan kejujuran," begitu kata Novanto saat memandu sumpah jabatan Erwin. Sementara diketahui, rapat paripurna hari ini terbilang ramai. Dari total 555 anggota, tercatat 385 anggota menandatangani absensi rapat. Diketahui, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, Senin malam (17/7). Dia dinilai bersama pihak lain terbukti turut serta memuluskan tahapan perencanaan, hingga pelaksanaan proyek e-KTP berjalan, sesuai dengan peran yang dipaparkan jaksa penuntut umum dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Hal ini menyusul adanya pertemuan antara terdakwa Irman dan Sugiharto, Andi Agustinus, Diah Anggraini,  dan Setnov di Hotel Grand Melia Jakarta pada Februari 2010 silam, sekitar pukul 06.00 Wib. Dimana dalam pertemuan tersebut, para terdakwa meminta dukungan Novanto dalam proses penganggaran tersebut, dan Novanto menyatakan dukungannya terhadap proses penganggraan proyek e-KTP yang sedang berjalan di Komisi II DPR. Selain itu, fakta hukum lain yang mengaitkan keterlibatan Novanto, juga adanya  pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama terdakwa satu, yang menemui Setnov di lantai 12 Gedung DPR RI, guna memastikan dukungan Novanto terhadap penganggaran proyek e KTP. Dalam pertemuan tersebut Novanto mengatakan sesuatu. ''Ini sedang kita koordinaskan perkembanganya nanti hubungi Andi,’’ urai JPU KPK Mufti Nur Irawan dalam persidangan di Tipikor. Dia disangka melanggar Pasal 3 atau pasal 2 ayat 1 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Merujuk pada UU Tipikor, Pasal 2 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang secara sah melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Sedangkan di Pasal 3, menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar. (dna/JPC)

Sumber: