Menghitung Hari Benefit Tax Amnesty Jilid II
Oleh : Agus Puji Priyono, Kanwil DJP Banten Salah satu kewajiban menjadi warga negara yang baik adalah berkontribusi aktif membayar pajak untuk penyediaan kebutuhan publik. Pertanyaan mendasar adalah apakah ada harta yang kita miliki atas nama pribadi atau anggota keluarga dari tahun 1984-2020 yang belum/kurang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh dan bersumber dari penghasilan yang kena pajak tetapi belum/kurang disetorkan pajaknya? Harus segera diteliti kembali terutama di bulan Juni 2022. Hal ini terkait dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang akan segera berakhir 30 Juni 2022 sebagai salah satu opsi menuntaskan kewajiban pajak masa lalu dengan benefit yang ditawarkan oleh pemerintah antara lain tarif pajak lebih rendah, mudah, dan terhindar dari penegakan hukum. Pertanyaan berikutnya kenapa perlu ikut PPS? Karena semakin kuatnya kapasitas otoritas pajak terkait dengan keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan. Hal ini ditandai dengan banyaknya data pertukaran informasi otomatis antarnegara serta data dan/atau keterangan dari Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP) yang harus diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Artinya, DJP cukup banyak memiliki information power untuk mengawasi kewajiban perpajakan para wajib pajak. Oleh sebab itu DJP menawarkan 2 (dua) kebijakan dalam program TA Jilid II dengan fokus kepada harta yang belum/kurang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. Kebijakan I, untuk harta tahun 1984-2015 bagi peserta Tax Amnesty 2015 (OP dan Badan) dan masih ada hingga 31 Desember 2015. Kebijakan II, untuk harta orang pribadi (OP) tahun 2016-2020 (Kebijakan II) dan masih ada per tanggal 31 Desember 2020. Tarif Rendah Kondisi Pertama, peserta TA (OP atau Badan) yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan Harta (SPH), bila ditemukan oleh DJP akan dianggap penghasilan dan dikenai PPh Final 25% (Badan), 30% (OP), 12,5% (WP Tertentu) dari Harta Bersih Tambahan (PP-36/2017) ditambah sanksi 200%. Kondisi kedua, WP OP yang belum melaporkan penghasilan Tahun Pajak 2016-2020 sesuai ketentuan akan dikenai PPh sesuai tarif yang berlaku yaitu tarif progresif dari 5%, 15%, 25%, hingga 30% ditambah sanksi administrasi. Melalui PPS, pemerintah memberikan tarif final khusus sekaligus mengintegrasikan dengan program pemerintah lain dalam bentuk investasi tertentu yaitu Surat Berharga Negara (SBN), hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA), dan energi terbarukan. Bagi Wajib Pajak yang hartanya tidak diinvestasikan ke sektor tertentu tersebut terdapat 2 (dua) Tarif PPh yaitu deklarasi harta dalam negeri (DN) dan repatriasi harta luar negeri (LN) sebesar 8% (Kebijakan I) dan 14% (Kebijakan II) sedangkan deklarasi harta LN sebesar 11% (Kebijakan I) dan 18% (Kebijakan II). Tarif PPh super khusus sebesar 6% (Kebijakan I) dan 12% (Kebijakan II) diberikan jika harta tersebut diinvestasikan ke 3 (tiga) sektor tertentu. Coba bandingkan dengan tarif PPh Umum bagi OP dari tarif 30% menjadi 8% (Kebijakan I) dan 14% (Kebijakan II) jika harta tersebut berada di DN. Apalagi dihitung dari harta bersih bukan penghasilan yang pernah diterima atau diperoleh.Tentunya akan semakin kecil PPh yang dibayar. Tujuannya tidak lain adalah pemerintah ingin melindungi wajib pajak dari ability to pay sebagai dampak dari pandemi, di sisi lain ada kewajiban yang belum dipenuhi selama tahun pajak 1984-2020. Mudah PPS memberikan berbagai kemudahan dari sisi penghitungan maupun pelaporannya. Pertama, basis perhitungan PPh terutang dari nilai harta bersih bukan dari penghasilan karena penghasilan sendiri sudah habis dikonsumsi dan tersisa menjadi tabungan dan investasi atau disebut harta. Kedua, Surat Pernyataan Pengungkapan Harta (SPPH) tidak diisi secara manual dan tidak disampaikan secara langsung yang menyebabkan antrian atau kerumunan di saat pandemi melainkan melalui formulir elektronik (e-form) yang diunduh dari DJP online dan dikirim kembali secara elektronik yang tidak disertai dengan bukti-bukti pendukung kepemilikan harta kecuali utang jika ada. Ketiga, kepemilikan harta dikaitkan dengan pendekatan secara ekonomi bukan yuridis artinya harta nominee dapat diikutsertakan. Keempat, Surat Keterangan TA Jilid II langsung diperoleh secara online tanpa harus menunggu keputusan dari DJP. Kelima, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan laporan realisasi harta selama 5 (lima) tahun melalui DJP online bagi WP yang melakukan deklarasi DN, cukup melalui pelaporan SPT Tahunan PPh. Terhindar Penegakan Hukum Selain tarif rendah dan berbagai kemudahan. Pemerintah masih memberikan manfaat tambahan yaitu tidak dikenakan sanksi 200% untuk Kebijakan I. Bagi peserta Kebijakan II tidak dilakukan pemeriksaan atas kewajiban tahun pajak 2016-2020 kecuali terdapat PPN atau pemotongan PPh yang telah terlanjur dipungut/dipotong atau masih terdapat harta yang belum/kurang dilapor yang ditemukan oleh DJP. Manfaat lain adalah terjaminnya kerahasiaan data karena tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana. Ketiga benefit yang ditawarkan oleh PPS sebagai kelanjutan dari Tax Amnesty merupakan kesempatan emas bagi wajib pajak yang alpa atau khilaf bahkan sengaja atas kewajiban pajak yang telah berlalu. Apalagi menjelang berlakunya Nomor Induk Kependudukan (NIK) menggantikan NPWP pada tahun 2023 dan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) tahun 2024 akan membawa kepada era perpajakan baru. Program Pengungkapan Sukarela menjadi titik tolak transparansi atau keterbukaan informasi antara otoritas dan wajib pajak untuk membangun Cooperative Compliance. Penyesalan selalu berkunjung belakangan dan kesempatan tidak pernah hadir berulang. Kita hapus pajak masa lalu dengan tebus bayar PPS dan nikmati benefitnya untuk menjadi seperti wajib pajak yang baru terdaftar.
Sumber: