Kerawanan di TPS Makin Kompleks, Akibat Pandemi Potensi Pelanggaran Bertambah
JAKARTA-Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara (tungsura) pilkada 2020 akan berjalan di masa pandemi Covid-19. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai, tingkat kerawanan ataupun pelanggaran di tempat pemungutan suara (TPS) berpotensi bertambah. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan mengatakan, selama ini ada enam potensi pelanggaran yang biasa terjadi di TPS. Mulai penggunaan suara lebih dari satu kali, pemilih berdokumen palsu, ASN menjadi saksi, pemilih tidak terdaftar, money politics, hingga keberpihakan petugas. ’’Ini berdasar pengalaman pilkada 2018, ini tren kami memotret potensi pelanggaran,’’ ujarnya dalam sosialisasi pemungutan suara yang digelar KPU kemarin (11/11). Namun, di masa pandemi, Abhan menyebut potensi pelanggaran bisa lebih banyak dan kompleks. Dari sisi penyelenggara, misalnya, ada potensi lalai dalam menerapkan standar protokol kesehatan. ’’Ini kultur baru penyelenggara, pemilih harus mau menggunakan protokol kesehatan,’’ imbuhnya. Dari sisi pemilih, Bawaslu juga melihat ada potensi kerawanan. Misalnya, pemilih menolak menggunakan masker karena tidak percaya Corona hingga potensi kehilangan hak suara karena menjalani karantina. Abhan menuturkan, berbagai potensi pelanggaran itu harus dicermati bersama. Komisioner KPU Ilham Saputra menambahkan, dari sisi regulasi, KPU telah mendesain coblosan di TPS dapat memenuhi standar pencegahan Covid-19. Dari sisi TPS, misalnya, TPS dibangun di tempat yang luas, didesain untuk jaga jarak, disemprot disinfektan secara berkala, hingga disediakan tempat cuci tangan. Kemudian, petugas juga akan dibekali APD dan wajib menjalani rapid test sebelum dimulainya tungsura. ’’Bahkan ada beberapa daerah menyatakan kesanggupannya bisa melaksanakan swab,’’ ujarnya. Proses pemungutan suara sendiri diatur agar bisa berjalan aman. Mulai wajib bermasker, cek suhu tubuh, dibuat antrean berjarak, hingga metode pemberian tinta yang tidak lagi dicelup. Pemilih yang menjalani karantina pun akan ditangani secara khusus. ’’Orang-orang (petugas, Red) yang kita pilih harus bisa memastikan itu," jelasnya. Terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad menjelaskan, integritas penyelenggara pemilu sampai saat ini masih dinilai baik. Berdasar data DKPP, putusan sidang etik terhadap penyelenggara masih didominasi dengan rehabilitasi. Artinya, tuduhan atas pelanggaran etik yang dilakukan jajaran KPU maupun Bawaslu sebagian besar tidak terbukti. ’’Tercatat 58 persen penyelenggara pemilu kita masuk kategori berintegritas. Jauh lebih banyak dari yang kita beri sanksi,’’ ujarnya. Untuk 42 persen yang disanksi, tingkat pelanggarannya beragam. Yang terbanyak adalah teguran tertulis sebanyak 26 persen, pemberhentian tetap 15 persen, dan pemberhentian sementara 1 persen. (jpg)
Sumber: